Sungguh-Sungguh
Terjadi (biasa disingkat dan sering disebut SST) adalah salah satu rubrik di
Harian Kedaulatan Rakyat. SST merupakan tulisan singkat, sekitar 4-7 kalimat,
yang isinya lucu, aneh, nyeleneh, menarik, unik, inspiratif dan nyata.
Berikut
ini misalnya:
“Di
kantin sekolahku dijual aneka makanan dengan nama-nama lucu dan unik, antara
lain: Marmut (Martabak Imut), Tikus (Roti Kukus), Dokar (Donat Bakar), Tikar
(Roti Bakar), Nabung (Nasi Bungkus), Nari (Nasi Teri)” (Kiriman dari Shania
Putri N, Kelas VIII E MTsN Yogyakarta II. KR, 10 April 2013).
“Banyak
pedagang berjualan di pinggir jalan yang tidak konsekuen. Jual roti tawar tapi
tidak bisa ditawar. Ada yang tidak bisa mencongak, yaitu tukang foto kilat,
ditanya 3 x 4 berapa, jawabnya 1.000.
Pada
zaman penjajahan para pedagang ini harus berjarak 5 feet (5 kaki=1,5 meter)
dari tepi jalan. Mungkin dari kata lima kaki inilah timbul istilah PKL
(Pedagang Kaki Lima). Di New York, USA, disebut Sidewalk Stall.” (Kiriman dari Dr. Warsi, Cilacap. KR, 29 April
2014).
Siapa
saja boleh menulis dan mengirimkan karya SST-nya. Penulis SST di KR datang dari
berbagai kalangan. Dari anak SD sampai Dosen. Ada juga dari tukang becak, loper
koran, guru, dokter, mahasiswa, dll. Meski rubrik kecil dan sederhana, SST
memiliki penggemar yang sangat banyak. SST KR memiliki daya pikat yang khas,
kadang tulisannya menggelitik, kadang membuat orang jadi mengerutkan kening
karena kagum/heran, kadang membuat tersenyum tertawa lepas. Ada pula yang
berseloroh, “Tulisan di KR tidak ada yang fakta kecuali satu: Sungguh-Sungguh
Terjadi.”
SST terbit setiap hari. Anda bisa menemuinya di
halaman pertama pojok kanan bawah. Senin sampai Sabtu terdapat satu tulisan
SST. Khusus hari Minggu, KR menampilkan parade “Sungguh-Sungguh Terjadi dalam
Sepekan”, memuat 7-8 tulisan SST. Pada hari Minggu SST berada di halaman satu
dan 8 atau 12.
Sepengamatan
saya, penulis SST yang paling produktif adalah Dr. Warsi dari Cilacap. Beliau
sudah bertahun-tahun menulis SST di KR. Dokter Wildan dari Bantul juga
produktif. Bahkan beliau membukukan kumpulan SST-nya yang kebanyakan merupakan
pengalaman lucunya ketika berhadapan dengan pasiennya di Rumah Sakit Jiwa.
Dosen saya, Dr. Hamdan Daulay juga kerap menulis SST, disamping beliau sering
menulis opini ke berbagai surat kabar.
Di
bawah ini adalah beberapa contoh SST (lagi):
“Di
Banyuwangi ada orang bernama Tuhan, di Madura ada orang bernama Nabi, di
Sumatera Utara ada orang bernama Kazib, dan media massa memunculkan orang
bernama Syaiton. Sehingga salah satu TV Jakarta sempat mempertemukan Tuhan
dengan Syaiton.” (Kiriman dari Dr. Hamdan Daulay, Sleman. KR, 9 September
2015).
“Turis
asing (wanita) yang mengerti beberapa patah kata bahasa Jawa naik becak di
Malioboro. Ngerti karena terlalu cepat, ia bilang pada Pak Becak, “Alon-alon,
Pak.” Eeee, oleh Pak Becak ternyata dibawa ke alun-alun.” (Kiriman dari Zaidin
Zaenal, Yogyakarta. KR, 19 Juni 1984).
“Seorang
perawat wanita di Bangsal Zaitun RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit 2,
Gamping, DIY, punya nama Inova Noor Evi. Kita semua tahu, mobil (Kijang) Inova
adalah salah satu produk pabrik Toyota. Ternyata, jika sedang tugas di bangsal,
perawat tersebut justru naik mobil Ayla, produk pabrik Daihatsu. Jadi, tidak
matching dengan namanya. Ketika sampai di RS, di tempat parkir, sesaat setelah
dia turun dari mobil dan berdiri di samping mobilnya, dengan nada berguarau dia
sering diejek teman-temannya: Inova parkir jejer Ayla.” (Kiriman dari dr.
Wildan, Bantul. KR, 2 Oktober 2014).
“Seorang
PNS warga Godean mengidap asam urat dan gampang capek. Ia sering makan kapsul
dari sinshe yang harga per kapsulnya Rp. 75.000. Lama-kelamaan ia penasaran
dengan kapsul yang mahal itu, dan suatu ketika kapsul itu dibuka. Ternyata
berisi undur-undur yang masih hidup.” (Kiriman dari Fatonah, Sleman. KR, 23
Agustus 2015)
Saya juga pernah menulis SST dan dimuat. Berikut isinya:
Hari Difabel Internasional diperingati setiap tanggal 3 Desember.
Istilah difabel di ranah gerakan sosial di Indonesi dipopulerkan Dr Mansyur
Fakih. Istilah difabel lahir dari hasil diskusinya dengan Drs Setia Adi
Purwanta MPd. Difabel beda dengan cacat. Seorang tuna netra dengan yang tidak,
letak perbedaannya terletak pada kemampuan, bukan ketidakmampuan atau
kecacatannya. Misalnya, Mansyur Fakih pandai membaca huruf latin, Setia Adi
Purwanta juga pandai membaca huruf braile lewat jemarinya. Informasi yang
dibacanya sama, hanya cara mereka yang berbeda.” (KR, 3 Desember 2015).
SST karya saya mungkin tidak lucu (faktor besar yang membuat
dimuat), namun karena ada unsur inspiratif lah yang membuat redaktur “tertarik”.
Saya meyakini SST ini punya peluang dimuat karena saya kirim pada momentum yang
tepat. Tiga hari sebelum jatuh 3 Desember telah saya kirimkan naskah SST ke
kantor KR. Setiap hari KR menerima naskah SST sekitar 30 dan yang dimuat cuma
satu pada hari biasa. Waktu tunggu dimuat atau tidak adalah 3-4 hari. Jika Anda
kirim hari Senin, maka cek lah hari Rabu/Kamis, kalau memang SST Anda bagus
pasti dimuat. Bila selang 3-4 hari Anda cek koran KR dan SST Anda tidak terbit,
berarti SST Anda ditolak alias masih kalah menarik dengan SST orang lain.
Teman saya, Teguh Setiyadi, Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN
Suka juga produktif menulis SST. Berikut salah satu SST-nya:
Seorang nenek bersama anak dan cucunya membuat heran pengasuh Panti
Asuhan BASA Moyudan Sleman, karena si nenek mengaku masih gadis. Tapi setelah
si nenek mengisi buku tamu, tertulis nama Gadis Setiyowati. Karena itu semua
yakin si nenek benar-benar masih gadis. (KR, 21 Juni 2015).
***
Saya akan berikan beberapa Tips agar SST Anda bisa dimuat. Selain
naskah SST yang punya kriteria lucu, unik, aneh, nyeleneh, menarik, inspiratif
dan nyata, Anda perlu melakukan hal ini:
1.
Buat
SST yang aktual. Contohnya saat media massa ramai memberitakan orang bernama
Tuhan, Hamdan Daulay menulis SST yang berkaitan dengan itu.
2.
Sesuaikan
dengan momentum. Misal, 3 Desember adalah Hari Difabel Internasional, saya
menulis SST tentang Difabel. Misal 17 Agustus Hari Kemerdekaan RI, ya coba Anda
tulis SST yang berkaitan dengan momentum tersebut. Dan ingat, usahakan kirimnya
tiga hari sebelum Hari H.
3.
Seminggu
maksimal kirimnya dua kali. Jika kirim tiap hari, tentu Redaktur KR akan
“bosan” dengan Anda. Selain itu, KR tentu ingin memberikan kesempatan pada yang
lain.
4.
Kirim
pada Senin dan Kamis. Saya jelaskan yang hari Kamis saja. Karena bila kirim
Kamis, kemungkinan dimuatnya hari Minggu. Pada hari Minggu KR biasa memuat SST
sebanyak 8 . Artinya, peluang dimuatnya lebih besar daripada hari-hari biasa.
5.
Jangan
kirim naskah SST saat tanggal merah atau hari libur nasional. Sekalipun hari
itu adalah hari Senin atau Kamis. Sebab, saat tanggal merah otomatis Kantor KR
pasti tutup. Hehe.
Teknis pengiriman naskah SST bisa kirim via pos (dibubuhi perangko)
atau diantar langsung ke kantor KR (kalau diantar sendiri ke kantor, tak perlu
dikasih perangko). Alamatnya: Jalan P. Mangkubumi 40-42, Yogyakarta-55232. Di
amplop cantumkan juga nama Anda, alamat lengkap (sesuai KTP) dan No. HP.
Jika SST dimuat, Anda akan mendapat honorarium sebesar Rp. 50.000.
Honor bisa diambil di kantor KR dengan menunjukkan foto kopi KTP. Kalau tidak
diambil, biasanya setelah dua minggu KR mengirim honorarium tersebut lewat
wesel pos ke alamat rumah Anda. Atau Anda gunakan alamat kampus atau kos saja
agar kiriman wesel itu datang ke alamat kampus/kos.
Naskah SST bisa ditulis/ketik di selembar kertas dan masukkan ke
amplop, bisa juga langsung tulis di selembar karu pos (tak perlu pakai amplop).
Kartu pos ukurannya sekitar 6 x 8 Cm. Anda dapat memperolehnya dengan beli di
kantor pos. Harga berkisar Rp. 200 – Rp. 300 per lembarnya. Namun, saat ini,
banyak kantor pos yang sudah tidak menyediakan kartu pos.
***
SST merupakan rubrik yang sangat melegenda di surat kabar
Kedaulatan Rakyat. Posisinya yang berada
di halaman pertama membuat tulisan ini dibaca banyak orang. Bila SST Anda
dimuat (meski tulisan sederhana dan ringkas), tentu jadi kebanggan tersendiri.
Sebab, SST dibaca oleh sekitar satu juta orang. Rubrik yang lain tentu
pembacanya tidak sebanyak pembaca SST. Beberapa rubrik lain, selain tulisannya
panjang-panjang juga berada di halaman yang kurang strategis, sehingga banyak
orang yang melewatkannya.
SST yang menarik bisa membuat banyak pembacanya tersenyum, tertawa,
terinspirasi dan tergerak untuk berbuat kebaikan. Silakan Anda menulis SST.
Abadikan pengalaman-pengalaman menarik itu dalam tulisan. Jangan biarkan
ide-ide bagus yang pernah singgah di otak Anda itu lenyap. Tulislah! Selain
bermanfaat bagi diri sendiri juga akan bermanfaat bagi orang lain. Barangkali
lewat habits menulis SST, lama-kelamaan ketrampilan menulis Anda semakin
terasah. Tak heran, nanti kemampuan Anda bisa meningkat, dari sekadar menulis
SST lalu bisa menulis opini atau esai.
Harga
eceran koran KR Rp. 3.000. Koran KR terdistribusi di DIY dan Jawa tengah. Anda
bisa mengakses KR secara gratis di alamat: epaper.krjogja.com. Epaper-nya biasa
update setelah pukul 12.00.
Ada
banyak website atau blog yang memajang kumpulan tulisan SST KR. Di bawah ini
adalah diantaranya:
krjogja.com/m/liputan-khusus/sst
sst-krjogja.blogspot.co.id
sst-lho.blogspot.co.id
***
Oya,
kalau di KR ada SST, di koran Merapi ada TSS (Terjadi Sungguh-Sungguh). Rubrik
TSS Merapi tipenya sama persis seperti SST KR. Hanya, waktu tunggunya lebih
lama, sekitar 6 Minggu. TTS adanya hari Senin-Sabtu (dulu Minggu ada, tapi
sejak awal Desember 2015 Merapi hanya terbit pada Senin sampai Sabtu saja).
Honornya lebih kecil dari KR: Rp. 25.000. Alamat kirimnya juga sama seperti KR:
Jalan P. Mangkubumi 40-42, Yogyakarta-55232.
Saya
beberapa kali menyuntingkan karya SST dan TSS teman, lalu kirim ke KR dan
Merapi. Sebagian besar dimuat. Saya sendiri punya pengalaman, saya tulis, lalu
kirim ke TSS Merapi, dan dimuat. Berikut isinya: “Belum lama ini saya ke
Singapura. Suatu pagi saya sarapan di rumah makan ‘Minang’. Di tempat tersebut
ada poster yang tulisannya membuat orang tersenyum namun sebenarnya bermakna
dalam. Yakni: ‘Kalau mau senang rajinlah berusaha. Kalau mau susah duduklah
sampai tua.’ Benar juga ya.” (Merapi, 1 November 2015)
***
Jogja, 17 Desember 2015
Artikel
ini ditulis oleh Amin Sahri, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta