Cinta yang Terlambat
Cerpen karya Amin Sahri
Dani, pemuda 19 tahun yang baru lulus SMA. Kini ia bekerja sebagai
loper koran.
Selepas waktu subuh koran datang di kantor. Dani membaca sekilas,
membuka lembar demi lembar koran, mencari berita yang paling heboh dan menarik.
Pukul 05.45 ia berangkat meloper. Membawa 150 eksemplar koran, sebagian ia
masukan dalam tas, sebagiannya lagi ditaruh di boncengan sepeda. Ia sampai di
Pasar Sidodadi. Memarkir sepeda. Lantas beraksi menawarkan koran pada para
pedagang dan orang yang lalu lalang.
“Korannya, Pak, Bu. Dua ribu rupiah saja. Dapat berita banyak,”
kata Dani bersemangat. “Korannya, Mba, Mas. Beritanya bagus-bagus. Dijamin bisa
bahagia,” promonya antusias. Hari pertama, kedua dan ketiga jualan koran ia
masih canggung. Kini sudah genap tiga pekan ia berjualan koran. Maka ia jadi
lebih ‘berani’, tidak malu-malu maupun gengsi. Yang ia fokuskan adalah
bagaimana berpromosi semenarik mungkin—bahkan nyeleneh—agar korannya laris.
15 menit berlalu, koran laku 7. “Koran-koran. Berita politik ada.
Berita bola ada. Berita kriminal ada. Dua ribu rupiah saja,” kata Dani sambil
menyodorkan koran pada khalayak ramai. Ketika tak ada yang berminat, ia jalan
kembali. “Korane, Pak, Bu. Ayuh dituku. Rongewu perak, isa ngerti
ngenah-ngeneh. Wawasane dadi luas,” ucapnya dengan bahasa lokal Cilacap yang
maknanya: Korannya, Pak, Bu. Mari dibeli. Dua ribu perak, bisa tahu banyak.
Wawasannya jadi luas.
Jika melewati ruko baju di lorong tengah pasar, Dani berjalan
lebih pelan dan diatur agar nampak ‘berkharisma’. “Korannya, Mba. Beritanya
bagus lho,” Dani menyodorkan koran pada wanita sebayanya. Wanita berjilbab dan
berwajah putih bersih itu menggeleng santai, “Nda, Mas. Terima kasih.” Dani
tahu, bahwa wanita ayu itu, Leli, tak akan membeli korannya karena ia pasti rikuh dengan
majikannya. Namun, setiap hari Dani selalu menawarinya, ia anggap itu sebagai
sapaan saja. Sekilas memandang wajah Leli dan menikmati sebersit senyumnya
membuat bunga-bunga mekar di hati Dani.
Satu jam mengelilingi pasar, korannya laku 40. Dani lalu mampir ke
warung makan langganannya untuk rehat sejenak sekaligus sarapan. Pemilik warung
kadang menegur Dani yang makan sambil senyum sendiri. Ia memang sedang
terbayang dengan sosok Leli. “Hayo... mesem-mesem kenapa? Lagi kemutan pacare
yah?” kata Ibu Rianti. “Eh, nda, kok, Bu,” kilah Dani. “Aku nda punya pacar,”
sambungnya.
Selesai beroperasi di Pasar Sidodadi, Dani bergerak ke pertokoan
sepanjang jalan Soeprapto, Kauman, lalu agak lama di kantor Samsat. Setiap hari
di Samsat ada 300-an orang antri pajak motor, mobil dan sejenisnya. Kadang di
sini, Dani menjumpai teman SMA-nya, gurunya, dan tetangganya yang membuat raut
mukanya berubah. Seperti ada rasa malu, Dani menyadarinya, ia pun segera
menepis rasa itu. Malaikat baik membisikinya, “Tak usah malu jadi loper koran.
Ini pekerjaan halal, juga bisa membantu orang. Mereka yang antri lama kan bisa
baca koran sehingga tidak bosan.”
Selepas dari Samsat, Dani menuju jalan Jendral Soedirman, Tendean,
A. Yani, Pasar Gede. Lalu berkeliling di sekitar alun-alun, Jalan Katamso.
Siangnya ia menjajakan korannya di terminal sampai jam 1 siang. Setelah itu ia
pulang ke kantor. Setor pada bendahara. Di waktu sore sampai malam hari, Dani
banyak membaca buku. Acap pula membaca koran retur. Kadang ia menulis artikel,
cerpen ataupun puisi yang nantinya ia kirimkan ke koran.
Semasa SMA, tulisan Dani kerap terbit di koran. Ia memang punya
bakat menulis. Sampai kini, ia masih rajin menulis dan mengirimkannya ke media
massa. Tiap ada karyanya yang dimuat, ia memberi gratis satu eksemplar koran
pada Leli. “Hari ini ada tulisanku. Kamu baca, ya... Kalau ga sempat di sini,
di rumah aja,” kata Dani sembari tertawa kecil.
***
Beberapa puisi Dani bertema cinta telah terbit di koran. Sebagaian
besarnya ia persembahkan untuk pujaan hatinya, Leli. Ia kira wanita itu akan
menyukainya. Pada suatu Sabtu yang bertepatan dengan hari ulang tahun Leli,
Dani mengajak ketemuan di alun-alun kota, sore hari. Dani memberinya sebuah
kado yang berisi novel, cokelat, dan puisi cinta.
Malam harinya, Dani masih teringat peristiwa tadi sore. Kencan
pertamanya ia rasa sangat istimewa. Mengajak ketemuan seorang wanita itu pun
melalui pergolakan batin yang cukup alot. Ia kumpul-kumpulkan keberanian untuk
menyatakan cintanya pada Leli. “Duh, aku memang pemuda yang tak tahu diri.
Loper koran, kok jatuh cinta pada wanita cantik. Yah, meskipun ia karyawan toko
di pasar, tapi kalau cantik, tentu banyak pemuda kaya lagi tampan yang juga
naksir dia,” gumam Dani dalam benaknya.
Dani telah menyatakan cinta tadi sore. Namun, saat itu Leli tidak
langsung memberi jawaban. Entah apa pertimbangannya. Dani optimis karena saat
itu rona muka Leli terlihat ceria. Tidak menampakkan penolakan. Pukul 22.00 SMS
dari Leli masuk.
“Dani yang baik, terima kasih sekali atas hadiahnya. Terima kasih
pula atas perhatianmu selama ini padaku. Terima kasih kau telah mencintaiku.
Kita adalah sahabat yang sepantasnya saling mencintai. Sebatas sahabat saja,
ya? Karena... aku sudah berrumah tangga sejak tiga bulan yang lalu.”
Usai membaca SMS itu, sendu merundung hati Dani. Bulir-bulir
bening menetes dari dua sudut matanya. Raganya lemas, jiwanya diguncang sedih.
Wanita yang ia anggap bidadari surga sudah lebih dulu menjadi milik lelaki
lain. (*)
0 komentar:
Posting Komentar