Presiden Baru, Rakyat (Harus) Bersatu!
Oleh Amin Sahri
Kalender mencatat tanggal 20 Oktober
2014 sebagai hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kita memiliki presiden yang
baru dilantik oleh MPR. Jokowi naik tahta menggantikan kepemimpinan SBY yang
sudah berlangsung selama 10 tahun.
Hiruk-pikuk Pilpres telah usai. Presiden dan Wakil Presiden telah ditetapkan.
Rakyat kembali ke aktivitas lama: menjalankan peran/profesinya masing-masing.
Namun sayangnya, masih ada orang-orang yang berdebat tentang Pilpres. Di media
sosial masih banyak dijumpai status/kicauan yang ‘tak terima’
dengan hasil pemilu, hujatan dan makian terus mengarah kepada presiden baru,
juga kepada kandidat yang tak terpilih. Aneh.
Terpilih atau tidak terpilih adalah konsekuensi dari Pemilu. Pemilu bukanlah
perang. Ketika pilihan kita tidak memenangi Pemilu, kita harus mau menghormati
hasil demokrasi, mendukung Presiden baru dan mengawal program-programnya.
Presiden Baru, Harapan Baru. Begitu kiranya tema berita dan opini yang ramai
menghiasi media massa di pekan ini. Namun sejatinya, harapan rakyat Indonesia
sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Rakyat ingin pemerintahan yang bebas
korupsi, pendidikan yang berkualitas, terbukanya lapangan kerja yang luas,
hukum yang tegas, akses kesehatan yang mudah bagi keluarga miskin, kemajuan di
bidang sosial, ekonomi, wisata, budaya, olahraga dan di sektor lainnya.
Siapapun yang menjadi Presiden Indonesia pasti dia tidak pernah luput dari
kritikan. Seperti pengalaman sebelumnya, melalui berita di televisi atau koran,
orang-orang akan menilai kinerja pemimpinnya. Ada yang memberi kritik sekaligus
solusi, namun lebih banyak yang menghujat dan menuntut macam-macam.
Ulama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa perbuatan rakyat adalah cerminan
dari pemimpin/penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus
juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Sampai
di sini, kita bisa merenungkanya. Bila mayoritas rakyat Indonesia cerdas dan
berakhlak mulia, tentu suara mayoritas dalam pemilu akan memilih pemimpin yang
cerdas dan berakhlak mulia. Bila kenyataanya bertolak belakang, semestinya
rakyat berintropeksi, tidak cukup dengan mengoreksi ke ‘luar’ namun lupa
melihat ke ‘dalam’.
Presiden yang menyimpang dalam menjalankan wewenang atau keliru dalam membuat
kebijakan harus dicegah dan dikritisi dengan kebajikan, bukan dengan
anarkhisme. Untuk mewujudkan negera Indonesia yang berjaya dan sejahtera harus
ada rasa saling percaya antara pemimpin dengan rakyatnya. Sikap yang saling
mendukung, komunikasi yang baik, kerja keras-cerdas-ikhlas akan menampilkan
wajah pemerintahan yang berwibawa.
Presiden baru dengan rakyatnya harus bersatu mewujudkan cita-cita mulia pendiri
bangsa kita yang telah termaktub dalam Pancasila. Pemerintah dengan parlemen
yang berasal dari dua kubu yang berbeda juga harus melepas egoisme kepentingan
kelompok demi kepentingan segenap rakyat Indonesia. Perbedaan pendapat harus
diakomodir dengan bijak, bukan ditindaklanjuti dengan debat yang tak sehat
atawa permusuhan yang abadi. Menjunjung tinggi nilai persatuan adalah upaya
menciptakan negara yang kuat, damai, aman, dan maju secara progresif.
Isu-isu SARA jangan sampai membuat perselisihan dan dijadikan alasan untuk
berbuat brutal terhadap saudara setanah-air. Tentu kita ingat, kehancuran
bangsa kita terjadi karena dijajah bangsa asing dan mudah diadu-domba. Kemudian
‘kesadaran untuk bersatu’ membawa bangsa kita memperoleh kemerdekaannya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar