Selamat
Ulang Tahun, Puisiku
Selamat ulang tahun, Puisiku
Semoga kau berbahagia
Semoga kau selalu tumbuh
menjadi puisi-puisi yang meneduhkan
jiwa
Semoga kau menjadi puisi-puisi yang
mampu
membasuhbersihkan kalbu yang berdebu
Semoga kau selalu dicintai Sang Kekasih
yang cintanya sebening embun
Selamat ulang tahun, Puisiku
Semoga kau semakin bercahaya
Terima kasih atas sejuta pelangi
yang kau kirim-masukkan ke dalam langit
dadaku
Semoga kau selalu memberikan warna
kepada jiwa yang sedang mendung
Semoga Kau selalu dicintai Sang Kekasih
yang kasih sayangnya setulus cahaya
mentari.
Jogja,
8 Desember 2016
***
Puisi
di atas aku tulis sebagai hadiah ulang tahun untuk sahabat-perempuanku. Dia
adalah seorang perempuan yang telah menggetarkan hatiku dan menggerakkan
tanganku menulis lebih dari seratus puisi. Ya, aku telah menulis puisi lumayan
banyak tentangnya. Sehingga aku ibaratkan dia adalah Puisiku.
Dalam
bait-bait puisi di atas, aku menyematkan doa-doa untuk dia—Puisiku. Semoga dia
berbahagia di usianya yang terus beranjak dewasa. Semoga dia semakin bercahaya.
Bercahaya karena perilakunya yang baik dan prestasinya yang melejit.
Aku tidak meminta apa-apa dari Puisiku.
Namun, aku rasa, dia telah memberikan ilham dalam hidupku. Maka dari bait-bait
puisi diatas aku menuliskan: Terima kasih atas sejuta pelangi // yang kau
kirim-masukkan ke dalam langit dadaku. Wajah pelangi itu telah memberikan
warna yang indah ke dalam jiwaku. Semoga dia selalu menghadirkan warna yang
indah dan bisa menghibur pemilik hati yang sedang sedih: entah itu sahabatnya,
saudaranya, keluarganya atau siapapun dia.
Dari puisi-puisi yang telah aku tulis,
aku kembali bercermin, merenung dan belajar. Aku menemukan keteduhan jiwa,
kedamain hati dan kebahagiaan yang bersahaja dari puisi-puisi yang ditulis
dengan tulus. Puisiku, semoga kau mampu meneduhkan jiwa setiap manusia yang
mengenalmu. Dengan menyimak kembali puisi-puisiku, aku merasa perlu kembali
menata hati. Aku mesti membersihkan kalbu yang berdebu.
Puisiku, aku telah jatuh cinta
kepadamu. Aku telah menyimpan perasaan ini lebih dari tiga tahun. Namun,
dalam puisi spesial ulang ulang tahunnya, aku kurang berani menyatakan cintaku.
Aku lebih memilih menulis: Semoga kau selalu dicintai Sang Kekasih // yang
cintanya sebening embun // Semoga kau selalu dicintai Sang Kekasih // yang
kasih sayangnya setulus cahaya mentari. Sebesar apapun cintaku padanya,
tentu lebih besar cinta Tuhan kepadanya. Bila aku berusaha mencintainya dengan
sebenar-benarnya cinta dan dengan setulus-tulusnya cinta, tentu itu baru
sedikit pancaran cinta Tuhan kepadanya. Masih banyak lagi pihak-pihak yang juga
diutus Tuhan untuk memancarkan cinta-Nya kepada dia—Puisiku.
Aku mencintaimu, Puisiku.
Aku berharap dia menerima cintaku. Sepanjang hidupku, baru sekali ini aku
menyampaikan perasaan kepada seorang perempuan. Penyampain ini sebetulnya tidak
buru-buru. Sebelumnya aku selalu menyimpan rapat-rapat kalimat ini—selama tiga
tahun lebih. Meski aku sangat jarang bertemu dengannya, tapi dialah seorang
perempuan yang kerap hadir dalam mimpi malamku. Saat ini sepertinya waktu akan
menunjukkan jawaban: aku dan dia akan berpisah lama—atau selamanya? Sebelum aku
dan dia berpisah lama dan sukar bertemu lagi, aku telah menyampaikan kejujuran
perasaanku: Aku mencintaimu, Puisiku. Aku ingin dia jadi kekasih
sejatiku. Namun dia memberikan jawaban yang ‘sangat bijak’. Jawaban yang harus
aku terjemahkan sendiri—apa aku bisa menerjemahkan dengan benar?
Aku mencintainya. Apa dia juga
mencintaiku? Entahlah! Tapi yang jelas, Tuhan lebih mecintainya. Dari siapapun
yang kuharap cintanya, hanya Tuhan jua yang paling mencintaiku.
***
Jogja, 9-10 Desember 2016
***
Jogja, 9-10 Desember 2016
0 komentar:
Posting Komentar