Assalamu’alaikum…
Selamat
ulang tahun buat Devi di bulan Desember 2016 ini (tanggal 8 ya tepatnya? Bertepatan
dengan rilis Film Bulan terbelah di Langit Amerika #2? Hehe). Semoga
Deviana Ayuk semakin menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi wanita solehah
kebaanggaan keluarga-saudara-sahabat dan senantiasa memberikan kebermanfaatan
dalam kehidupan ini.
Maaf,
ya, Dev… bila tiba-tiba aku mengirim surat ini. Ada hal yang ingin kusampaikan…
Telah lama
aku menyimpan sebuah perasaan kepadamu. Aku ingin bersikap biasa-biasa saja dan
menepis rasa ini, namun… itu tidak bisa, tidak mudah!
Aku
mencintaimu. Aku pernah mencintaimu begitu dalam. Aku pernah berharap
memilikimu. Aku pernah berharap berjodoh denganmu. Aduh, salahkah?
Aku tahu
kau wanita yang baik, ayu, cerdas dan berperangai mulia (aku tak berusaha
memuji ataupun merayu, namun sepertinya begitulah dirimu apa adanya—dan semoga
iya, ya?). Maaf, aku jatuh hati kepadamu. Aku memohon maaf, karena mungkin aku
telah lancang jatuh hati kepada seorang perempuan pilihan, yaitu dirimu.
Aku
merenung-renung. Salahkah aku telah terperangkap dalam perasaan cinta ini? Jika
aku mencintaimu, apakah kau bisa menerima? Mungkin aku tak tahu diri bila
mencintai wanita ‘sesempurna’ dirimu. Mungkin aku harus melupakanmu dan berdoa
agar kau mendapatkan lelaki yang sangat layak denganmu.
Sudah
beberapa kali aku berusaha melupakanmu. Sudah beberapa kali aku berusaha
bersikap biasa-biasa saja denganmu. Namun, aku bingung sendiri… kenapa
tiap—kebetulan—ada perjumpaan denganmu hatiku kembali berdebar, rindu, haru,
bahagia. Senyummu adalah madu. Sorot matamu adalah cahaya purnama. Dan
kata-katamu membuat hatiku merasa nyaman.
Dev,
aku sangat mencintaimu. Namun, aku memang harus sadar. Aku tak boleh memaksa
kau memiliki rasa yang sama denganku. Aku pernah berusaha melupakanmu dan
berdoa agar kau mendapatkan lelaki yang memang pantas denganmu. Namun, sebelum
aku melupakanmu, sepertinya aku harus jujur dengan perasaanku ini. Ingin
kuabaikan perasaan ini, namun ia telah memberikan warna yang indah dalam
hidupku. Ia telah menuntunku menulis seratusan puisi. Inspirasinya adalah kamu,
Devi.
Aku
juga heran, entah dapat kekuatan dari mana aku bisa menulis puisi sebanyak itu.
Bahkan, ada dua puisiku yang menjadi juara. Puisi ‘Gerimis’ menjadi Juara 2
Lomba Menulis dan Membaca Puisi Tingkat DIY-Jateng. Puisi ‘Pertemuan Kau dan
Dia’ menjadi Juara 1 Lomba Menulis Puisi Romantika Cinta Remaja.
Beberapa
puisi terbaruku aku cantumkan di sini…
Aku Akan Melupakanmu
Aku akan melupakanmu, duhai perempuan
yang telah lama kukagumi dalam diam. Aku akan melupakanmu… ah, apa mungkin
bisa? Akan kucoba! Setidaknya bisa untuk melupakan keinginan memilikimu. Akan
kulenyapkan keegoisan mengharapkanmu.
Akan kucabut dari kepalaku puisi-puisi
tentangmu yang telah tertanam sejak ribuan malam silam. Aku tahu, kau adalah
mutiara yang belum layak digenggam tanganku yang berlumur lumpur.
Aku akan menjauhimu sejauh-jauhnya.
Bukan membencimu! Aku hanya tak ingin tergantung dengan pancaran sinarmu. Aku
akan melepaskan bayang-bayangmu.
Aku akan memutus tangan-tangan rindu
yang kerap menggedor ingatanku tentangmu. Akan kutebang setiap pohon-pohon
rindu itu tumbuh. Aku tak ingin tubuhku yang rubuh karena ketakberdayaan
melawan api cinta—mu.
Jogja,
26 Oktober 2016
Menuju Desember
Tiga kali Desember
Tiga kali pertemua kita
Kini kalender memanggil-manggil
Untuk pertemuan keempat
Wajahnya pucat
Takut kehilangan purnama
Bibirnya ngilu
Menahan rindu yang pilu
Matanya perih
Melihat ombak yang bergejolak
Melihat angin yang menampar-nampar
Airmatanya meneteskan bulir-bulir puisi
Menegarkan jiwa yang menyimpan cinta
Jogja,
16 Oktober 2016
Debar
Hanya
sepintas wajahmu kulihat
Namun hadirmu terasa begitu lekat
Namun hadirmu terasa begitu lekat
Sorot
matamu adalah cahaya yang buatku tersipu
Hatiku berdebar dan mulutku membisu
Hatiku berdebar dan mulutku membisu
Hanya
kata-kata yang bergejolak dalam jiwa
Tanpa ada suara dan tak berani bicara
Tanpa ada suara dan tak berani bicara
Tanganmu
menggenggam cinta
Senyummu menebar rindu
Senyummu menebar rindu
Mataku
mengalirkan airmata
Kesedihan sekaligus kebahagian yang ambigu
Kesedihan sekaligus kebahagian yang ambigu
Dadaku
bergemuruh
Hatiku makin berdebar
Hatiku makin berdebar
Aku
ingin bersamamu
Untuk lenyapkan kegundahan
Untuk lenyapkan kegundahan
Aku
ingin meninggalkanmu
Untuk meredam debar jiwa
Untuk meredam debar jiwa
2016
Dev,
karenamu, aku juga telah menulis seratusan catatan, renungan dan cerita-cerita
pendek. Ada pula yang dimuat di koran. Tentu lebih banyak yang cuma terposting
di blog. Hehe. Kali ini, aku cantumkan salah satu catatan itu…
Angka 13 dan
Tiket Bioskop
“Orang-orang
yang jatuh cinta terkadang terbelenggu oleh ilusi yang diciptakan oleh dirinya
sendiri. Ia tak kuasa lagi membedakan mana yang benar-benar nyata, mana yang
hasil kreasi hatinya yang sedang memendam rindu. Kejadian-kejadian kecil, cukup
sudah untuk membuatnya senang. Merasa seolah-olah itu kabar baik. Padahal saat
itu ia tahu kalau itu hanya bualan perasaannya,
maka saat itulah hatinya akan hancur berkeping-keping. Patah hati!” (Dalam
cerpen ‘Berjuta Rasanya’, Tere Liye).
***
Selain pernah membaca buku Berjuta Rasanya, aku juga pernah membaca buku 13 Wasiat Terlarang. Dua buku yang menarik dan berbeda 'aliran'. Selepas itu, aku mulai menepis mitos angka 13 yang dibenci sebagian orang. Angka 13 bisa jadi sebuah keberuntungan, tergantung kita saja yang memaknainya.
Lalu, takdir baik beberapa kali mempertemukanku pada angka 13. Kuliah di UIN Suka itu takdir baikku. Aku ada upaya kuliah di tahun 2012, namun belum berhasil. Ternyata, aku berjodoh dengan UIN Suka pada tahun berikutnya, 2013.
Lalu, semestinya aku ikut event Kampus Fiksi angkatan 14. Entah kenapa, takdir atau skenario Tuhan membuatku masuk ke angkatan 13. 13 yang konon adalah angka sial tak terbukti padaku. Aku malah beruntung. Salah satunya mengenal seorang perempuan multitalenta yang sekaligus ramah dan rendah hati. Kebetulan namanya seperti namamu. Ini bukan berarti aku jatuh cinta padanya. Namun, sekadar kagum dan diam-diam aku belajar padanya. Belajar dari cara dia bersikap. Belajar dari pemikiran dan hal-hal yang melekat padanya. Mungkin dia tidak tahu kalau dia telah membuatku terinspirasi.
Lalu, Selasa kemarin kita nonton film di Sinema 21 Amplaz. Sudah terlambat 13 menitan kita baru antri tiket. Aku menyerahkan sepenuhnya padamu untuk memilih tempat duduk. Lalu kita sepakat memilih sepaket tempat duduk di tengah yang memang masih kosong, strategis pula. Aku duduk di kursi F 14, apakah jodohku di F 13, atau pergi ke mana? Kau duduk di F 13 dengan rileks dan memandang ke depan dengan wajah yang indah.
Kita ketinggalan jalan cerita film sekira 20 menitan. Aku senang berada di sampingmu, lebih senang lagi karena kamu sangat menikmati film ini. Usai nonton, kita jalan pulang sembari bercerita dan berkomentar soal film yang baru selesai kita tonton. "Terima kasih ya, Amri. Filmnya bagus banget. Sangat menginspirasi. Aku gak mau ketinggalan satu adegan pun," ucapmu. Aku mengangguk dan senang melihat senyummu yang mengembang. Itu adalah senyum yang berharga dan bermakna.
Oya, terakhir kita nonton bersama juga di tempat ini, pada dua tahun yang lalu?
***
Selain pernah membaca buku Berjuta Rasanya, aku juga pernah membaca buku 13 Wasiat Terlarang. Dua buku yang menarik dan berbeda 'aliran'. Selepas itu, aku mulai menepis mitos angka 13 yang dibenci sebagian orang. Angka 13 bisa jadi sebuah keberuntungan, tergantung kita saja yang memaknainya.
Lalu, takdir baik beberapa kali mempertemukanku pada angka 13. Kuliah di UIN Suka itu takdir baikku. Aku ada upaya kuliah di tahun 2012, namun belum berhasil. Ternyata, aku berjodoh dengan UIN Suka pada tahun berikutnya, 2013.
Lalu, semestinya aku ikut event Kampus Fiksi angkatan 14. Entah kenapa, takdir atau skenario Tuhan membuatku masuk ke angkatan 13. 13 yang konon adalah angka sial tak terbukti padaku. Aku malah beruntung. Salah satunya mengenal seorang perempuan multitalenta yang sekaligus ramah dan rendah hati. Kebetulan namanya seperti namamu. Ini bukan berarti aku jatuh cinta padanya. Namun, sekadar kagum dan diam-diam aku belajar padanya. Belajar dari cara dia bersikap. Belajar dari pemikiran dan hal-hal yang melekat padanya. Mungkin dia tidak tahu kalau dia telah membuatku terinspirasi.
Lalu, Selasa kemarin kita nonton film di Sinema 21 Amplaz. Sudah terlambat 13 menitan kita baru antri tiket. Aku menyerahkan sepenuhnya padamu untuk memilih tempat duduk. Lalu kita sepakat memilih sepaket tempat duduk di tengah yang memang masih kosong, strategis pula. Aku duduk di kursi F 14, apakah jodohku di F 13, atau pergi ke mana? Kau duduk di F 13 dengan rileks dan memandang ke depan dengan wajah yang indah.
Kita ketinggalan jalan cerita film sekira 20 menitan. Aku senang berada di sampingmu, lebih senang lagi karena kamu sangat menikmati film ini. Usai nonton, kita jalan pulang sembari bercerita dan berkomentar soal film yang baru selesai kita tonton. "Terima kasih ya, Amri. Filmnya bagus banget. Sangat menginspirasi. Aku gak mau ketinggalan satu adegan pun," ucapmu. Aku mengangguk dan senang melihat senyummu yang mengembang. Itu adalah senyum yang berharga dan bermakna.
Oya, terakhir kita nonton bersama juga di tempat ini, pada dua tahun yang lalu?
De, kau tahu kenapa aku mau mentraktirmu nonton film ini? Sebab, aku yakin kau sangat suka film ini sebagaimana dulu kau antusias untuk menonton film "99 Cahaya di Langit Eropa". Aku juga tertarik menyaksikan film ini karena sudah dua kali mengikuti screening-nya di GSP UGM dan Auditorium UNY. Saat di UGM, bahkan aku dapat doorprize novel "Bulan Terbelah di Langit Amerika" dan diajak berfoto bersama penulis dan pemaran utama filmnya. Saat di UNY, aku ikut acara workhshop kepenulisan yang dinarasumberi Hanum Salsabila Rais. Tiket masuk acara tersebut aku diberi gratis oleh Muza. Maka aku merasa 'tega' bila tak sampai menonton film ini. Aku malas bila berangkat nonton sendiri. Aku butuh teman. Selain itu, aku perlu berbagi kebaikan sebab sedari kemarin aku telah dapat banyak 'keberuntungan'. Kenapa tak ajak Muza? Aku lihat dia sedang sibuk. Kapan-kapan lah, kalau memungkinan kita nonton bertiga...
Melawan
Kemustahilan
Suatu
hari aku berkhayal menjadi juara lomba puisi. Aku berharap sekali bisa
mendeklamasikan puisiku pada momentum yang tepat. Aku berkhayal, audinces
mengamini doa yang terkandung dalam puisiku. Puisi ini
aku persembahkan untuk seorang wanita. Aku tulis dengan tulus (semoga).
Inspirasi
itu hadir, lahirlah puisi yang kuberi judul Gerimis. Minggu
malam, 2 November 2014 kebetulan aku mendengarkan acara Puisi Pro 2 RRI Jogja.
Lantas kukirimkan puisiku via SMS. Di penghujung acara, diumumkan bahwa puisiku
menjadi yang terbaik dan masuk semifinal. Hatiku berbunga-bunga.
Hari
“pertarungan” tiba (16/11). Para semifinalis diminta membacakan puisinya langsung
dari studio radio. Lewat waktu Isya hujan masih deras. Aku SMS dan telepon
teman dengan niat pinjam motor tapi hasilnya nihil. Normalnya, acara Puisi Pro
2 RRI berlangsung pukul 20.30-22.00. Pukul 21.40, hujan mulai berganti gerimis.
Sebentar lagi waktu “pertarungan” berakhir, kalau aku tidak hadir berarti
“kalah”. Aku “nekat” berangkat ke studio, dengan sepeda teman (meski kempes).
Aku
SMS crew radio
bahwa aku sedang dalam perjalanan ke studio. Aku yang sempat semangat dan
berbahagia karena puisiku sukses di babak awal, jangan sampai menyerah
ditengah, harus terus berjuang—sampai final. Kakiku menggowes sepeda begitu
cepat, namun tetap saja jalannya lambat karena bannya kempes. Di tengah
perjalanan pedal lepas, aku berhenti dan memperbaiki. Sepertinya aku sedang
melawan kemustahilan. Namun api semangat di dalam dadaku terus menyala.
Pukul
22.10 aku tiba di studio, diperbolehkan tampil. Aku membacakan puisi Gerimis-ku.
Saat pengumuman, aku dinyatakan masuk final. Aku sangat bersyukur.
Enam
hari menuju final. Aku sering latihan baca puisi di kamar. Di kampus, aku kerap
berlatih dan meminta saran dari teman, aku juga belajar dari video para juara lomba baca puisi.
Final
(22/11) berlangsung di Ambarukmo Plaza, aku berusaha tampil maksimal dan akhirnya
sukses meraih Juara 2. Tak menyangka bisa juara, seperti mustahil sebab
sebelumnya aku tak punya pengalaman membaca-baca puisi di hadapan banyak
penonton.
Dev,
puisi itu akan aku cantumkan di sini…
Gerimis
; untuk wanita berparas embun
Selalu ada gerimis di dalam dadaku
Tiap teringat senyummu yang manis
Rerintiknya selalu memuji namamu
Dalam hening yang tak tertakar
Gerimis selalu mengetuk-ngetuk kalbuku
Menyiramkan kesejukan
Juga menyuarakan rindu yang pilu
Pada dirimu yang terlalu kukagumi dalam diam
Bibirku tak pernah bisa bicara lantang layaknya deras
hujan
Hanya berbisik, samar-samar
Tersirat, itulah yang meluncur dari gerimis jiwaku
Gerimis memang seperti tangis
Yang melayarkan doa-doa sunyi
Memohonkan kebahagian untukmu, wanita berparas embun
Yang menyemai damai
Kadang menguntai haru dalam hirupan napasku
Engkau, aku, di ruang gerimis
Adalah sepotong kisah
Yang berharap jadi sepasang kekasih
Menyebarkan dan menyuburkan benih-benih cinta
Jogja, 2014
Puisi-puisiku biasa-biasa saja
ya, Dev? Hehe. Tapi itu aku tulis dengan ketulusan. Oya, barangkali kamu
(lebih) suka puisi-puisinya Gus Mus.
Baik, kali ini, aku cantumkan
satu puisinya Gus Mus di sini…
Perkenankanlah Aku Mencintaimu
Perkenankanlah aku mencintaimu
seperti ini
tanpa kekecewaan yang berarti
harapan-harapan yang setiap kali
dikecewakan kenyataan
biarlah dibayar oleh harapan-harapan
baru yang menjanjikan
seperti ini
tanpa kekecewaan yang berarti
harapan-harapan yang setiap kali
dikecewakan kenyataan
biarlah dibayar oleh harapan-harapan
baru yang menjanjikan
Perkenankanlah aku mencintaimu
semampuku
menyebut-nyebut namamu
dalam kesendirian pun lumayan
berdiri di depan pintumu tanpa harapan
kau membukakannya pun terasa nyaman
sekali-kali membayangkan kau memperhatikanku
pun cukup memuaskan
perkenankanlah aku mencintaimu sebisaku
semampuku
menyebut-nyebut namamu
dalam kesendirian pun lumayan
berdiri di depan pintumu tanpa harapan
kau membukakannya pun terasa nyaman
sekali-kali membayangkan kau memperhatikanku
pun cukup memuaskan
perkenankanlah aku mencintaimu sebisaku
2000
Semakin mendekati hari ulang
tahunmu, entah kenapa ada saja inspirasi yang hadir sehingga aku bisa menulis
puisi—tentangmu. Beberapa kali, kau hadir pula dalam mimpiku. Dalam mimpi, aku
pernah bertemu tak sengaja denganmu di masjid kampus, saat acara buka bersama. Terakhir
aku bermimpi bertemu denganmu di alun-alun kota. Kita naik sepeda bersama. Aku
di depan menggowes, kau membonceng di belakang. Kita berputar-putar
mengelilingi alun-alun.
Puisi-puisi dari jemariku
kembali mengalir deras…
Rindu yang Bertamu
Kau kerap hadir dalam mimpi
malam
Kapan kau hadir lagi dalam
nyata siang?
Sudah sekian lama tak jumpa,
rindu semakin berlumut
Ketika diriku mulai melupa,
acap kali wajahmu menggelayut
Aku tak mengundang, namun
rindu itu hadir begitu saja
Rindu itu menyebut-nyebut
namamu
Senada dengan jantung yang
berdenyut dan jiwa yang bergetar
Angin yang menerpa wajahku
terasa dingin
Apakah kau bisa
menghangatkannya?
Waktu-waktu yang kuhadapi
seperti membeku
Apakah kau bisa
mencairkannya?
Jogja, 17 November 2016
Kembara Rindu
Saat kakiku
melangkah
berpisah darimu
Sampai ke tengah jalan,
langit mengundang mendung
Tangan-tangan hujan memukul wajahku
Seluruh tubuhku basah kuyup oleh rindu
Ketika jalanan gelap
dan udara makin dingin
Masih saja wajahmu terlintas
jelas di benakku
Senyummu masih terlukis
Merekah indah
Bagai lentera yang menerangi perjalanan
dan menghangatkan kesunyian jiwa
berpisah darimu
Sampai ke tengah jalan,
langit mengundang mendung
Tangan-tangan hujan memukul wajahku
Seluruh tubuhku basah kuyup oleh rindu
Ketika jalanan gelap
dan udara makin dingin
Masih saja wajahmu terlintas
jelas di benakku
Senyummu masih terlukis
Merekah indah
Bagai lentera yang menerangi perjalanan
dan menghangatkan kesunyian jiwa
Jogja, 16
November 2016
Hujan [2]
Musik hujan mengiringi kenangan
yang menari-nari
Lagunya berjudul namamu, kekasih
yang menari-nari
Lagunya berjudul namamu, kekasih
Kaulah yang ada dalam cahaya
Bersama butir-butir hujan
yang menghanyutkan rindu
Bersama butir-butir hujan
yang menghanyutkan rindu
Aku duduk sendiri di beranda
Menulis puisi-puisi untukmu
Membaca puisi-puisi untukmu
: semoga kau dengar seorang yang
paling mencintaimu dengan tulus
Menulis puisi-puisi untukmu
Membaca puisi-puisi untukmu
: semoga kau dengar seorang yang
paling mencintaimu dengan tulus
Jogja, 30 November 2016
Di Titik
Terjauh
Di titik terjauh
Getar rindu semakin terasa
Getar rindu semakin terasa
Daun-daun yang luruh
Menyerahkan seluruh jiwanya
Pada tanganmu yang mengobarkan cinta
Menyerahkan seluruh jiwanya
Pada tanganmu yang mengobarkan cinta
Aku kirim sajak dari negeri seberang
Ke mana pun aku pergi, ke mana pun aku menjauh
Kaulah alamat rinduku berpulang
Ke mana pun aku pergi, ke mana pun aku menjauh
Kaulah alamat rinduku berpulang
Jogja, 1
Desember 2016
Itulah sebagian catatan dan
puisi yang coba aku bagikan kepadamu. Aku belum pintar menulis. Kalau Devi mau
memberi kritik dan saran juga boleh.
Hehe.
Lewat surat ini pula, aku
sisipkan sebuah hadiah kecil. Buku kumpulan puisi “Aku Manusia” karya
Gus Mus. Semoga kau suka…
Mungkin, sampai di sini dulu suratku,
duhai wanita berparas embun. :)
Aku mencintaimu. Aku
menyayangimu.
Maaf jika selama ini aku ada
salah. Maaf jika dalam surat ini ada yang membuatmu kurang nyaman.
Inilah kejujuranku.
Semoga kau bisa membalas suratku. :)
Inilah kejujuranku.
Semoga kau bisa membalas suratku. :)
0 komentar:
Posting Komentar