RSS

Kami Nyaris Tak Punya Apa-Apa

Kami Nyaris Tak Punya Apa-Apa

Dulu, aku masuk SD saat usia tujuh tahun. Aku baru masuk sekolah setelah teman-teman kelas 1 sudah masuk satu minggu. Hari pertama berangkat sekolah, aku diantar ayah dengan sepeda, aku membonceng di belakang dengan telanjang kaki. Aku berseragam merah putih yang baru saja selesai di jahit tadi pagi. Aku menggendong tas lungsuran kakakku.

Saat kelas 3, kelasku pernah masuk siang pulang sore—sebab gantian dengan kelas lain, ada bangunan kelas yang sedang direnovasi. Pernah di sebuah pagi, masakan di rumah belum tersaji. Aku berangkat sekolah dengan perut kosong. Sekira jam dua siang, di kursi bagian belakang aku menggeliat. Tanganku memegangi perut yang keroncongan. Aku menahan perih dan merintih pelan. Aku menahan rasa lapar. Saat Pak Guru masih menerangkan pelajaran, tetiba sebuah kata meluncur dari mulutku, “kenchot!” Teman-teman tertawa. Aku malu. Selepas insiden itu, kadang ada seorang teman kelas yang memberiku uang seratus atau dua ratus rupiah—untuk jajan. 

Dalam cerita yang lain, ketika teman-teman dibelikan baju/seragam batik yang biasa dikenakan pada hari Rabu dan Kamis, orangtuaku menjadi yang terakhir membelikan baju batik—setelah beberapa bulan. Meski ayahku penjahit, ternyata itu tak lantas membuatku tiap tahun selalu punya seragam baru. Pernah, selama dua tahun aku memakai celana merah tipis. Beberapa kali celana itu bolong. Bolong lalu ditambal, bolong lagi, ditambal lagi. Pernah teman perempuan mengatakan, “Amin anake tukang jahit, tapi katoke bolong, tambalan thok!”. Aku tidak marah dan meresponnya. Aku hanya melanjutkan aktivitasku dan menanggung malu.

Aku lulus SD tahun 2005 dengan NEM 40,96. Kala itu ranking dua di kelasku 35 koma sekian (kalau tak keliru ingat). Aku kelas 7 SMP sudah memiliki adik enam. Aku masuk ke SMP Negeri di kotaku. Aku tinggal beberapa kali di rumah saudara. Saat SMP saya pernah cari uang jajan dengan bantu-bantu di toko material, pernah jadi joki penerbang burung merpati. Aku pernah juga jualan stiker. Ngamen bersama teman juga pernah aku lakoni. Saat di SMP, aku sempat merasa hampa. Sempat berujar, “kayanya lebih baik aku mondok di pesantren saja, bisa ngaji, meski nantinya sekolah di SMP swasta.”

Aku lulus SMP Tahun 2008. Aku senang. Aku mudik ke kampung halaman. Menikmati libur panjang. Suatu sore saat aku sedang asyik-asyiknya bermain, adikku memanggil, katanya aku disuruh pulang menemui ayah. Aku duduk di di samping ayahku yang sedang menjahit baju pelanggan. Ibu juga ada di rumah, ikut membantu menggarap jahitan. Ayahku mulai bercerita dan memberikan nasihat-nasihat. Sampailah beliau berujar, “Amin, kamu sekolahnya libur dulu satu tahun ya. Adik-adikmu biaya sekolahnya juga banyak banget. Nanti kalau ada rezeki, kamu masuk SMA-nya tahun depan.” Aku hanya mengangguk. Menurut. Agak sedih, tapi aku menerima kenyataan ini.

Saat teman-teman alumni SD dan SMP-ku menikmati masa-masa sekolah di SMA, SMK dan MA, aku menikmati pekerjaan sebagai karyawan toko mainan anak dan assesoris di pasar kecamatan. Gaji bulan pertamaku Rp. 225.000 (dua ratus dua puluh lima ribu rupiah). Kerja dari jam 7 pagi, pulang jam 5 sore. Tiap gajian, yang selalu tergambar di benakku adalah mengalokasikan uang itu untuk membeli buku bacaan. Salah satu buku yang aku beli yaitu buku Persiapan UN SMA IPA 2008.

Setahun berlalu. Aku melanjutkan studi di MAN di kabupatenku. Aku sekolah di sini dengan dibiayi oleh ayah angkat. Saat kelas 11 aku mengambil jurusan IPA. Meski jurusan IPA, aku malah lebih sering membaca sastra. Aku juga sering menulis untuk di kirim ke media massa. Tulisanku seperti puisi, cerpen dan berita pernah dimuat di koran dan majalah. Saat aku lulus, salah satu adik kelasku mengabari kalau salah satu puisiku dijadikan bahan soal Ujian Bahasa Indonesia MA Kabupaten Cilacap.

Lulus dari MAN, aku mendaftar SBMPTN jalur bidikmisi dan tidak lolos. Karena ingin kuliah dengan beasiswa, aku coba daftar Ujian Mandiri jalur Bidikmisi di kampus negeri di Semarang. Sebagian biaya berangkat dari Cilacap ke Semarang diperoleh dari pinjaman seorang guru. Sayang, saat pengumuman, aku masih belum lolos. Aku akhirnya memilih jeda studi dulu satu tahun. Aku langsung aktif mencari pekerjaan. Usiaku telah dewasa. Aku sudah siap mencari uang. Aku tak ingin lagi merepotkan orangtua. 

Setelah beberapa kali mencari pekerjaan ini-itu, mendatangi tempat ini-itu, mendatangi orang ini-itu, akhirnya aku mantap memilih kerja sebagai loper koran. Tiap hari aku masuk ke pasar-pasar, rumah-rumah, toko-toko, kantor-kantor dan tempat keramaian lainnya: menawarkan jualan koran ke sebanyak mungkin orang. Biasanya berangkat meloper jam 7 pagi, pulang jam 2 siang. Ternyata penghasilan jualan koran lumayan. Sebulan bisa dapat sekitar 3 juta. Dari hasil kerja kerasku itu, aku mulai bisa sedikit membantu perekonomian keluarga. Aku ikut urun modal untuk buat warung kecil di rumah kontrakan. Sebagian uang penghasilanku juga dipakai ayah untuk membeli TV bekas. Selama bertahun-tahun keluarga jika mau nonton TV hanya bisa numpang ke rumah tetangga atau saudara. Baru akhir tahun 2012, keluargaku punya TV sendiri. Sebagian uang yang aku tabung juga aku niati untuk biaya kuliah kelak.

Tahun 2013 aku ikut SBMPTN dan diterima di pilihan pertama: Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sunan Kalijaga. Aku masuk PTN bukan lewat jalur beasiswa. Otomatis aku harus berjibaku untuk bisa membiayai kuliah sendiri. Sama sekali aku tak meminta ataupun mendapat kiriman dana dari orangtua. Aku pernah jualan kaos kaki, nasi rames dan gorengan. Sampai akhirnya aku konsisten jualan buku via online. Awal memulai jualan sangat penuh perjuangan. Alat yang aku punya hanya HP Smartfren yang harganya 250 ribuan. Buat online lambat dan kualitas fotonya kurang bagus. Kadang aku online buat jualan dengan pinjam laptop teman. Kadang online di warnet dan komputer perpustakaan.

Berkat kerja keras, ketekunan dan kesabaran, semakin lama aku berhasil mendapat banyak pelanggan. Kini setiap bulannya, aku bisa menjual lebih dari 1000 buku. Di samping itu, aku juga memiliki 40-an reseller dari beragam latar belakang (siswa SMA, mahasiswa, guru, dosen dan orang umum) dan dari berbagai daerah (Jambi, Padang, Jakarta, Tangerang, Cianjur, Cilacap, Salatiga, Jogja, Tuban, Bojonegoro, Surabaya, Makassar dan lain-lain). Selain telah mengirim buku-buku ke pelosok-pelosok negeri, aku juga cukup sering mengirim buku ke luar negeri (Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand, Taiwan dan Hong Kong).
Gambaran kesuksesan jualan buku online-ku ini ternyata menarik minat beberapa teman dan wartawan untuk menulis dan meliput kiprahku. Profilku pernah diliput Kedaulatan Rakyat, Tribun Jogja, edupost.co.id, brilio.net, Net TV, dan lain-lain. Hal ini pun ternyata ‘menarik perhatian’ teman-temanku. Sebagian temanku berdatangan menghampiriku saat mereka butuh untuk pinjam uang. Sudah puluhan temanku meminjam duit. Ada yang cepat mengembalikan ada pula yang lambat. Ada yang berbulan-bulan belum mengembalikan, ada yang satu tahun lebih belum mengembalikan (saya sudah capek menagihnya).

Aku mau meminjami teman, sebab aku juga pernah pinjam uang ke teman. Namun aku selalu berkomitmen untuk melunasinya secepat mungkin. Dan tahukah, kau sahabat? Di posisiku yang sekarang ini, di belakangku, di dalam keluargaku, orangtuaku telah menanggung utang sekitar 100 juta. Terdiri dari utang ke bank, BMT ini-itu, rentenir ini-itu, tetangga, saudara dan lain-lain. “Teman, aku yang pernah meminjami uang padamu, ternyata aku adalah orang yang nyaris tak punya apa-apa. Ternyata orangtuaku juga punya utang yang lebih besar (bahkan sangat besar) dari utangmu.” Orangtuaku adalah yang termiskin pertama di desa. Rumahku beberapa bulan lalu pernah roboh. Dan kini, orangtuaku mengumumkan akan menjual tanah untuk melunasi utang yang segunung. Tanah yang luasnya tak seberapa, akan dijual. Itulah harta kami yang paling berharga. Kami tidak punya sawah. Dan kini orangtuaku akan menjual tanah. Kami nyaris tidak punya apa-apa. Inilah episode paling getir dalam hidupku. Aku yang masih punya ayah-ibu, dua kakak dan enam adik: akan tinggal di mana dan akan hidup bagaimana?

Aku paham masalah utang yang sangat melilit dan menyakitkan keluarga kami. Maka aku berusaha bekerja keras. Aku punya cita-cita penghasilan yang tinggi untuk ikut membantu perekonomian keluarga. Kini kau jadi tak heran kan kalau aku pernah menulis target omzet 100 juta per bulan? Salah satu alasannya karena aku ingin membantu membebaskan utang-utang orangtua. Mohon doanya ya...

Ini adalah episode paling getir dalam hidupku. Ini adalah episode yang membuatku menitikan airmata. Aku sedih, sejenak. Aku bangun kembali semangat dan optimisme. Aku yakin badai ini akan berlalu. Aku yakin aku dan keluargaku bisa melewati ujian berat ini. Aku masih punya Allah. Kami masih punya Allah. Allah yang Maha Menolong.


Jogja, 12 Juni 2016


0 komentar:

Posting Komentar

Write here, about you and your blog.
 
Copyright 2009 Menulis dan Mengekalkan Kenangan All rights reserved.
Free Blogger Templates by DeluxeTemplates.net
Wordpress Theme by EZwpthemes
Blogger Templates