Ikan Kaleng
Cerpen karya Eko Triono
/1/
Sam tiga hari di Jayapura;
dia guru ikatan dinas dari Jawa. Dan tak mengira, saat pembukaan penerimaan
siswa baru buat SD Batu Tua 1 yang terletak sejurus aspal hitam dengan taksi
(sebenarnya minibus), ada yang menggelikan sekaligus, mungkin, menyadarkannya
diam-diam. Ia tersenyum mengingat ini.
Ketika seorang lelaki
bertubuh besar, dengan tubuh legam dan rambut bergelung seperti ujung-ujung
pakis lembut teratur menenteng dua anak lelakinya, sambil bertanya, “Ko pu ilmu
buat ajar torang (kami) pu anak pandai melaut? Torang trada pu waktu. Ini anak
lagi semua nakal. Sa pusing”
Sam memahami penggal dua
penggal. Dia, seperti yang diajarkan saat micro teaching, mulai mengulai senyum lalu
berkata, “Bapak yang baik, kurikulum untuk pendidikan dasar itu keterampilan
dasar, matematika, bahasa indonesia, olahraga dan beberapa kerajinan..”
“Ah, omong ko sama dengan
dong (dia) di bukit atas! Ayo pulang!”
Kaget. Sam tersentak, belum lagi dia selesai.
Dan ini tak pernah diajarkan di pengajaran mikro. Juga di buku diktum bab
penerimaan siswa baru. Dia pucat; diraihnya segelas air putih.
Pendaftaran pertama memantik
rasa sabar dan sesuatu yang asing dalam dirinya. Ia bersabar menunggu detik
berikutnya dari lepas pukul sembilan. Ia mengelap lagi wajahnya. Di meja
pendaftaran samping, kosong, Tati belum datang. Cuma ada Markus, Waenuri dan
Tirto—teman sekelasnya yang sedang betugas masing-masing di ruang lain; mulai
dari siap berkas, mencatat kebutuhan anggaran dan menyiapkan papan tulis.
Bismillah, ia mengharap, tepat ketika sebarisan orang-orang legam bertelanjang
kaki menjejaki halaman yang setengah becek bertanah merah, dilatari sisa-sisa
alat berat dan bekas pengadukan material bangunan itu.
Dan syukurlah, meski dengan
penjelasan yang tak kalah berat; setidaknya, tak ada yang seperti orang
pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran ,
siapa sebenarnya orang itu. Ia mencoba mencari tahu, hasilnya, ternyata lelaki
pertama tadi adalah kepala suku Lat, berada di sekitar pantai sebelah kanan, menembus
seratusan rengkuh dayung untuk sampai di kampungnya yang ada di laut. Kira-kira
begitu kata orang -orang yang juga ada berasal dari sana.
“Trada perlu risau, dong itu
memang keras kepala,” kata di penjelas itu sambil bisik bisik takut ada yang
melaporkan omongannya.
/2/
Hari tadi tercatat dua puluh
satu siswa terdaftar jadi angkatan baru sekaligus kelas baru buat sekolah itu.
Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu silih berganti dan bulan menumpang
tindih. Tepat memasuki bulan Agustus, keganjilan itu muncul kembali. Meski
sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semakin sering.
Dua anak itu sering muncul di halaman. Mereka
nampak memandangi sesuatu yang mungkin aneh baginya. Teman-teman yang lain
menghadapi sebuah tiang dengan bendera dua warna. Berbaris lalu
menyanyi-nyanyi. Dari sini Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu betul mereka itu
yang tempo hari dibawa oleh kepala suku Lat.
“Kenapa kalian, ingin seperti
mereka?”
“He-eh…” yang satu
mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang menyanyi-nyayi bersama itu dari sana
terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang ada di dekat jalan depan sekolah itu.
“Apa ko ini Do! Trada boleh!!
Bapa ade bisa marah”
Mereka kemudian menjauh, menurun di bukit-bukit
kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan
hijau hutan juga beberapa rumah penduduk dan sekali dua waktu minibus berlalu
dengan muatan penuh.
Sam memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi
rumah anak-anak itu dan memberikan semacam penjelasan.
Dengan dibantu salah seorang
wali murid, sampailah dia di rumah lelaki itu. Sam kemudian menyampaikan maksud
dan sejumlah penjelasan terutama perihal anak mereka yang sering datang ke
sekolah.
“Ko trada perlu ajari torang.
Torang dah pu sekolah sendiri. Lihat mari! Justru murid ko yang mari”
Sam, dengan setengah tak percaya mengikuti
lelaki itu. Turun dari rumah besar, lalu menuju perahu di antara barisan
rumah-rumah, aroma laut menebar, hidungnya disesaki asin dan matanya dipenuhi
tatapan aneh dari penduduk sekitar. Dia menuju sebuah rumah yang sama di atas
laut dan di sana nampak sudah dua anak lelaki yang menyambanginya siang tadi.
Dan, beberapa muridnya yang ia kira sakit, ternyata mereka ada di sana.
Di tempat ini terlihat:
barusan dayang-dayung tergantung, tombak bermata tajam, sebuah perahu di tengah
ruangan, jala, pisau, sebuah titik-titik dengan cangkang karang yang kemudian
Sam tau itu rasi bintang di langit. Lelaki Lat menjelaskan lagi dengan bahasa
alihkode semi kacau, bahwa disinilah seklah yang ia dirikan. Sekolah yang
diberinama Lat: Sesuai nama suku.
Sebenarnya lelaki tadi
tidaklah bodoh terlalu. Ayahnya dulu pernah menyekolahkannya ke “sekolah
pemerintah” meski hanya dikelas satu—demikian mereka menyebutnya, namun suatu
hal mengganjal.
Ketika kakaknya yang sudah
kelas enam di SD Jayapura 2 tak bisa apa-apa ketika harus nenemani kakak mereka
yang lebih tua pergi melaut menggantikan ayahnya yang sakit keras. Dia,
kakaknya yang SD tersebut, hanya bisa omong dan menyanyi-nyayi, lalu pamer
angka-angka tak jelas dalam kertas, tapi tak becus membaca rasi bintang, arah
angin, membelah ombak, mengarah tombak, apa lagi mencecap asin air dan jernih
gelombang untuk menerka di mana ikan-ikan berkumpul. Dari situ ia benci
sekolah—ia benci menghabiskan waktu dengan menyayi dan menggambar tidak jelas.
Dan, pelak, ketika ada pembukaan sekolah baru ia selalu mencari sekolah yang
mengajarkan anaknya melaut, membelah ombak, mendayung, membaca rasi bintang,
menombak ikan paus dan seterusnya. Dan itu tak pernah ada, atau mungkin tak
akan pernah ada!
Sam terdiam. Ia paku bagi
kelana: semua diktum terkulum gelombang di kaki pancang: berpias-pias.
Dan juga sorenya, sam melihat bahwa cahaya senja
senantiasa keemasan sebelum muram menjadi gelap, lelaki itu mengajar dua
anaknya dan tiga dari muridnya yang belakangan absen. Dia mengajari cara
memegang dayung, menggerakkannya kanan kiri di atas perahu di tengah kelas itu.
Dan, tak sekalipun lelaki itu membentak atau bahkan memukul bila salah. Dia
selalu berkata,
“Ko pasti bisa! Ko dilahir
atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang
cintai dayungi dan ciumi angin asin ini. Laut tempat ko makan, laut tempat ko
besar nanti, ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar
hidup bukan cuma omong kosong menggambar. Ko dititipi laut bapa kitorang”
Peristiwa dua tahun silam
terngiang makin dalam, di meja kelas ketika kini dia mengadapi pesan pendek
berisi keluh dari sejumlah kawan di Jogja yang belum juga mendapat kerja. Dia
menarik nafas. Untung dia dapat ikatan dinas; meski jauh seperti ini, terpisah
dari keluarga.
Dia sedang mengabsen, saat
tiba-tiba lelaki kepala suku Lat itu datang mengetuk pintu kelas. Dia izin
sebentar pada murid- muridnya yang kini tinggal setengah—sisanya “sekolah” di
Lat: memilih belajar membelah ombak dengan benar, membaca rasi bintang dengan
sket cangkang dan seterusnya.
“Maaf ada yang bisa sayang
bantu Pak?” Sam bertanya, dalam hati ia mengira lelaki itu, yang kini membawa
kedua anaknya beserta anak lain, ingin menyekolahkan di tahun ajaran baru yang sebentar
lagi tiba.
“Ko orang Jawa, bisa ajar
torang buat ini?” Sam mundur sedikit. Ia kaget. Lelaki itu menunjukan ikan
kalengan bermerek sarden.
Usut punya usut, setelah
bercakap kemudian, sekolah Lat mengalami masalah. Murid-muridnya bertambah
banyak, orang-orang Batu Tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sana, yang
dalam waktu tak lebih dari setahun dapat membantu menangkap ikan. Yang mengajar
juga dari orang mereka sendiri yang berpengalaman. Nah dari sana penghasilan
menangkap ikan naik deras. Ketika kepala suku Lat itu pergi ke Jayapura untuk
memasarkan ikan, ia melihat ikan kaleng yang ternyata harga sebuahnya setara
dengan harga satu kilogram ikan mentah. Dia terkejut. Padahal, menurut si
kepala suku Lat itu satu kaleng hanya berisi dua tiga potong. Dari ini dia
ingin menemui sekolah yang bisa mengajarkan “murid”-nya membuat ikan kaleng.
Dan sekali lagi Sam
menggeleng. Ia menjelaskan kembali tentang standar pengajaran di sekolah,
kurikulum, evaluasi, ijasah, menghitung, menghafal nama menteri, Pancasila,
Undang-Undang Dasar…
“Ah baiklah. Ko tau tempat
buat ini?” kepala suku menegas. Matanya resah. Anak-anak di belakangnya tengah
membaur bersama anak-anak dalam kelas. Sam membaca pabrik produksinya yang
ternyata itu ada di Banyuwangi Jawa Timur.
“Sa mau ke sana! Ko kasih
tau..”
Sam terbengong. Dan ia akan
makin kaget, jika tahu bahwa lima hari mendatang akan ada rombongan kecil
dengan perahu berlayar sedang, berbekal peta yang ia berikan sewaktu bertanya
beduyun megarungi Samudra Hindia menuju Jawa Timur buat belajar cara
mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak ikan, agar
anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti kota, mobil,
motor… Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat; yang, membaca angin,
gemintang dan asin air laut dan jejak-jejak ikan diantara buih dan gelombang.
Jiah! Khiaaak! (*)
2010