RSS

Berbisnis dengan Cerdas


Berbisnis Dengan Cerdas
Oleh Amin Sahri

Judul Buku   : Buka Langsung Laris



Penulis           : Jaya Setiabudi
Penerbit        : PT. YukBisnis Indonesia
Tebal              : 137 halaman
Cetakan         : I, 2015
Apa mungkin kita bisa membuka bisnis yang langsung laris? Tentu sangat mungkin! Jaya Setiabdi melalui buku Buka Langsung Laris memberikan jawabannya. Kesuksesan bisnis membutuhkan proses yang cukup lama. Namun, bila kita tahu ilmu dan strateginya kesuksesan itu bisa diraih melalui proses yang lebih cepat.
Dalam dunia bisnis/pemasaran terdapat banyak tantangan dan permasalahan. Mungkin Anda merasa punya produk luar biasa tapi tidak laku di pasaran;  produk sudah dipasarkan ditempat strategis tapi sepi pembeli; telah menghabiskan dana promosi puluhan hingga ratusan juta tapi produk tetap lambat bergerak; sementara produk ‘tetangga’ yang seolah biasa saja tapi laku keras; sudah satu tahun masih berjalan di tempat.






Jaya Setiabudi, pendiri Young Entrepreneur Academy (YEA), yang telah mencetak ribuan pengusaha sukses memberikan solusi cerdas untuk Anda. Pertama, bidik pasar potensial. Temukan celah pasar yang banyak permintaan dan minim persaingan. Kedua, buat produk yang ngangenin. Di sini, diuraikan cara mengetahui kelayakan suatu produk diterima oleh target pasarnya. Ketiga, ciptakan merek yang ngetop. Keempat, membuat kemasan yang menarik agar semua mata melirik produk Anda. Kelima, saluran D=P. Kita akan tahu bagaimana bisa memasarkan produk dengan biaya orang lain. Keenam, penyebar virus. Membuat banyak orang mencari produk Anda. Ketujuh, pengungkit konversi. Mendongkrak angka penjualan.



Buku dengan 137 halaman ini membawa kita melihat pengalaman bisnis yang dijalani Jaya Setiabudi, murid-muridnya, dan tokoh entrenpreneur muda seperti Reza Nurhilman. Reza memiliki produk kripik pedas yang omzetnya miliaran per bulan. Meski banyak pesaing penjual kripik tetapi ia bisa sukses. Sebab, ia menghindari jebakan komoditas dan bantingan-bantingan harga. Reza menguatkan diferensiasi dan merek produknya. Dengan kemasannya yang cantik, produknya jelas lebih diburu dari produk kripik lainnya yang hanya dibungkus plastik tanpa label. Itulah efek emosional merek dan kemasan (hal. 27)
Seluruh isi buku ini begitu esensi dan penting. Didukung gambar dan desain yang menarik membuat pembaca semakin asyik menyimak. Bab terakhir dari buku ini yakni Lompatan Konversi. Segala upaya untuk mempermudah konsumen membeli produk Anda. Ujung-ujungnya jualan adalah closing. Disebutkan faktor lompatan konversi yaitu: sarang yang benar, strategi harga, ikatan distributor, dan momentum. Hal yang menarik pada bagian ini misalnya, pembeli lebih tertarik membeli sepatu harga satu juta dengan diskon 50% daripada sepatu harga 500.000 tanpa diskon. Ini bisa kita jadikan sebagai strategi harga.
Membuka usaha adalah cara yang tepat bagi Anda yang ingin meraih kesuksesan finansial. Dan buku Buka Langsung Laris akan membantu mempercepat proses kesuksesan Anda. Karena, buku ini memuat banyak strategi cerdas yang telah teruji. (*)

Presiden Baru, Rakyat (Harus) Bersatu!

Presiden Baru, Rakyat (Harus) Bersatu!
Oleh  Amin Sahri



 

Kalender mencatat tanggal 20 Oktober 2014 sebagai hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Kita memiliki presiden yang baru dilantik oleh MPR. Jokowi naik tahta menggantikan kepemimpinan SBY yang sudah berlangsung selama 10 tahun.
            Hiruk-pikuk Pilpres telah usai. Presiden dan Wakil Presiden telah ditetapkan. Rakyat kembali ke aktivitas lama: menjalankan peran/profesinya masing-masing. Namun sayangnya, masih ada orang-orang yang berdebat tentang Pilpres. Di media sosial masih banyak dijumpai status/kicauan yang ‘tak terima’ dengan hasil pemilu, hujatan dan makian terus mengarah kepada presiden baru, juga kepada kandidat yang tak terpilih. Aneh.
            Terpilih atau tidak terpilih adalah konsekuensi dari Pemilu. Pemilu bukanlah perang. Ketika pilihan kita tidak memenangi Pemilu, kita harus mau menghormati hasil demokrasi, mendukung Presiden baru dan mengawal program-programnya.
            Presiden Baru, Harapan Baru. Begitu kiranya tema berita dan opini yang ramai menghiasi media massa di pekan ini. Namun sejatinya, harapan rakyat Indonesia sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Rakyat ingin pemerintahan yang bebas korupsi, pendidikan yang berkualitas, terbukanya lapangan kerja yang luas, hukum yang tegas, akses kesehatan yang mudah bagi keluarga miskin, kemajuan di bidang sosial, ekonomi, wisata, budaya, olahraga dan di sektor lainnya.
            Siapapun yang menjadi Presiden Indonesia pasti dia tidak pernah luput dari kritikan. Seperti pengalaman sebelumnya, melalui berita di televisi atau koran, orang-orang akan menilai kinerja pemimpinnya. Ada yang memberi kritik sekaligus solusi, namun lebih banyak yang menghujat dan menuntut macam-macam.
            Ulama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan bahwa perbuatan rakyat adalah cerminan dari pemimpin/penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka.  Sampai di sini, kita bisa merenungkanya. Bila mayoritas rakyat Indonesia cerdas dan berakhlak mulia, tentu suara mayoritas dalam pemilu akan memilih pemimpin yang cerdas dan berakhlak mulia. Bila kenyataanya bertolak belakang, semestinya rakyat berintropeksi, tidak cukup dengan mengoreksi ke ‘luar’ namun lupa melihat ke ‘dalam’.
            Presiden yang menyimpang dalam menjalankan wewenang atau keliru dalam membuat kebijakan harus dicegah dan dikritisi dengan kebajikan, bukan dengan anarkhisme. Untuk mewujudkan negera Indonesia yang berjaya dan sejahtera harus ada rasa saling percaya antara pemimpin dengan rakyatnya. Sikap yang saling mendukung, komunikasi yang baik, kerja keras-cerdas-ikhlas akan menampilkan wajah pemerintahan yang berwibawa.
            Presiden baru dengan rakyatnya harus bersatu mewujudkan cita-cita mulia pendiri bangsa kita yang telah termaktub dalam Pancasila. Pemerintah dengan parlemen yang berasal dari dua kubu yang berbeda juga harus melepas egoisme kepentingan kelompok demi kepentingan segenap rakyat Indonesia. Perbedaan pendapat harus diakomodir dengan bijak, bukan ditindaklanjuti dengan debat yang tak sehat atawa permusuhan yang abadi. Menjunjung tinggi nilai persatuan adalah upaya menciptakan negara yang kuat, damai, aman, dan maju secara progresif.
            Isu-isu SARA jangan sampai membuat perselisihan dan dijadikan alasan untuk berbuat brutal terhadap saudara setanah-air. Tentu kita ingat, kehancuran bangsa kita terjadi karena dijajah bangsa asing dan mudah diadu-domba. Kemudian ‘kesadaran untuk bersatu’ membawa bangsa kita memperoleh kemerdekaannya. (*)

Cinta yang Terlambat

Cinta yang Terlambat
Cerpen karya Amin Sahri

Dani, pemuda 19 tahun yang baru lulus SMA. Kini ia bekerja sebagai loper koran.
Selepas waktu subuh koran datang di kantor. Dani membaca sekilas, membuka lembar demi lembar koran, mencari berita yang paling heboh dan menarik. Pukul 05.45 ia berangkat meloper. Membawa 150 eksemplar koran, sebagian ia masukan dalam tas, sebagiannya lagi ditaruh di boncengan sepeda. Ia sampai di Pasar Sidodadi. Memarkir sepeda. Lantas beraksi menawarkan koran pada para pedagang dan orang yang lalu lalang.
“Korannya, Pak, Bu. Dua ribu rupiah saja. Dapat berita banyak,” kata Dani bersemangat. “Korannya, Mba, Mas. Beritanya bagus-bagus. Dijamin bisa bahagia,” promonya antusias. Hari pertama, kedua dan ketiga jualan koran ia masih canggung. Kini sudah genap tiga pekan ia berjualan koran. Maka ia jadi lebih ‘berani’, tidak malu-malu maupun gengsi. Yang ia fokuskan adalah bagaimana berpromosi semenarik mungkin—bahkan nyeleneh—agar korannya laris.
15 menit berlalu, koran laku 7. “Koran-koran. Berita politik ada. Berita bola ada. Berita kriminal ada. Dua ribu rupiah saja,” kata Dani sambil menyodorkan koran pada khalayak ramai. Ketika tak ada yang berminat, ia jalan kembali. “Korane, Pak, Bu. Ayuh dituku. Rongewu perak, isa ngerti ngenah-ngeneh. Wawasane dadi luas,” ucapnya dengan bahasa lokal Cilacap yang maknanya: Korannya, Pak, Bu. Mari dibeli. Dua ribu perak, bisa tahu banyak. Wawasannya jadi luas.
Jika melewati ruko baju di lorong tengah pasar, Dani berjalan lebih pelan dan diatur agar nampak ‘berkharisma’. “Korannya, Mba. Beritanya bagus lho,” Dani menyodorkan koran pada wanita sebayanya. Wanita berjilbab dan berwajah putih bersih itu menggeleng santai, “Nda, Mas. Terima kasih.” Dani tahu, bahwa wanita ayu itu, Leli, tak akan membeli korannya karena ia pasti rikuh dengan majikannya. Namun, setiap hari Dani selalu menawarinya, ia anggap itu sebagai sapaan saja. Sekilas memandang wajah Leli dan menikmati sebersit senyumnya membuat bunga-bunga mekar di hati Dani.
Satu jam mengelilingi pasar, korannya laku 40. Dani lalu mampir ke warung makan langganannya untuk rehat sejenak sekaligus sarapan. Pemilik warung kadang menegur Dani yang makan sambil senyum sendiri. Ia memang sedang terbayang dengan sosok Leli. “Hayo... mesem-mesem kenapa? Lagi kemutan pacare yah?” kata Ibu Rianti. “Eh, nda, kok, Bu,” kilah Dani. “Aku nda punya pacar,” sambungnya.
Selesai beroperasi di Pasar Sidodadi, Dani bergerak ke pertokoan sepanjang jalan Soeprapto, Kauman, lalu agak lama di kantor Samsat. Setiap hari di Samsat ada 300-an orang antri pajak motor, mobil dan sejenisnya. Kadang di sini, Dani menjumpai teman SMA-nya, gurunya, dan tetangganya yang membuat raut mukanya berubah. Seperti ada rasa malu, Dani menyadarinya, ia pun segera menepis rasa itu. Malaikat baik membisikinya, “Tak usah malu jadi loper koran. Ini pekerjaan halal, juga bisa membantu orang. Mereka yang antri lama kan bisa baca koran sehingga tidak bosan.”
Selepas dari Samsat, Dani menuju jalan Jendral Soedirman, Tendean, A. Yani, Pasar Gede. Lalu berkeliling di sekitar alun-alun, Jalan Katamso. Siangnya ia menjajakan korannya di terminal sampai jam 1 siang. Setelah itu ia pulang ke kantor. Setor pada bendahara. Di waktu sore sampai malam hari, Dani banyak membaca buku. Acap pula membaca koran retur. Kadang ia menulis artikel, cerpen ataupun puisi yang nantinya ia kirimkan ke koran.
Semasa SMA, tulisan Dani kerap terbit di koran. Ia memang punya bakat menulis. Sampai kini, ia masih rajin menulis dan mengirimkannya ke media massa. Tiap ada karyanya yang dimuat, ia memberi gratis satu eksemplar koran pada Leli. “Hari ini ada tulisanku. Kamu baca, ya... Kalau ga sempat di sini, di rumah aja,” kata Dani sembari tertawa kecil.
***
Beberapa puisi Dani bertema cinta telah terbit di koran. Sebagaian besarnya ia persembahkan untuk pujaan hatinya, Leli. Ia kira wanita itu akan menyukainya. Pada suatu Sabtu yang bertepatan dengan hari ulang tahun Leli, Dani mengajak ketemuan di alun-alun kota, sore hari. Dani memberinya sebuah kado yang berisi novel, cokelat, dan puisi cinta.
Malam harinya, Dani masih teringat peristiwa tadi sore. Kencan pertamanya ia rasa sangat istimewa. Mengajak ketemuan seorang wanita itu pun melalui pergolakan batin yang cukup alot. Ia kumpul-kumpulkan keberanian untuk menyatakan cintanya pada Leli. “Duh, aku memang pemuda yang tak tahu diri. Loper koran, kok jatuh cinta pada wanita cantik. Yah, meskipun ia karyawan toko di pasar, tapi kalau cantik, tentu banyak pemuda kaya lagi tampan yang juga naksir dia,” gumam Dani dalam benaknya.
Dani telah menyatakan cinta tadi sore. Namun, saat itu Leli tidak langsung memberi jawaban. Entah apa pertimbangannya. Dani optimis karena saat itu rona muka Leli terlihat ceria. Tidak menampakkan penolakan. Pukul 22.00 SMS dari Leli masuk.
“Dani yang baik, terima kasih sekali atas hadiahnya. Terima kasih pula atas perhatianmu selama ini padaku. Terima kasih kau telah mencintaiku. Kita adalah sahabat yang sepantasnya saling mencintai. Sebatas sahabat saja, ya? Karena... aku sudah berrumah tangga sejak tiga bulan yang lalu.”
Usai membaca SMS itu, sendu merundung hati Dani. Bulir-bulir bening menetes dari dua sudut matanya. Raganya lemas, jiwanya diguncang sedih. Wanita yang ia anggap bidadari surga sudah lebih dulu menjadi milik lelaki lain. (*)


Kolaborasi Kekayaan dan Kecerdasan

Kolaborasi Kekayaan dan Kecerdasan
Oleh Amin Sahri

Lebih dari 7 tahun yang lalu, aku menyaksikan tayangan TV tentang teknologi pertanian di berbagai negara. Salah satunya di Amerika Serikat. Di sana, benih padi di sebar dari atas pesawat terbang. Dengan laju yang cepat, benih-benih padi itu terlempar dan jatuh tepat di lahan yang sangat luas. Saat panen, dilakukan dengan mesin yang sangat canggih. Hanya sedikit orang yang mengoperasikannya, rumpun-rumpun padi di sawah yang berhektar-hektar dalam waktu singkat dapat dikelola dengan satu mesin yang langsung menghasilkan gabah yang bersih.
Makna tersirat dari deskripsi ini, kemajuan pertanian suatu negara dapat tercapai dengan syarat: adanya kekayaan dan kecerdasan. Pesawat dan mesin-mesin canggih lainnya adalah barang yang berharga mahal. Hanya golongan kaya saja yang bisa memilikinya. Sedang pengoperasian alat/mesin, pengaturan atau pengelolaan lahan dan benih dibutuhkan ilmu yang kompleks (kecerdasan).
Pada konteks yang berbeda, ada kecerdasan yang tak didukung kekayaan. Indonesia punya putra bangsa yang super cerdas: Baharudin Jusuf Habibie. Beliau pernah mengajukan proposal dana 500 juta dolar AS untuk pembuatan pesawat N250 pada Presiden Soeharto kala itu, namun Soeharto tak bisa memenuhinya. Karena krisis moneter, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) ditutup. Karyawan IPTN bubar, banyak yang pergi dan bekerja di perusahaan pesawat terbang negera lain; di Brazil, Canada, Amerika Serikat dan Jerman. Anehnya, Indonesia pun mengekspor pesawat dari negara tersebut. Kalau kompetensi dan ide brilian BJ Habibie didukung sokongan dana yang memadai tentu Indonesia bisa memproduksi sendiri pesawat yang canggih dan beroleh keuntungan yang melimpah. Orang-orang Indonesia yang merupakan tenaga ahli pembuat pesawat terbang tak perlu sampai eksodus ke luar negeri. Cukup berada di negeri sendiri, dan memaksimalkan karya terbaiknya untuk kemajuan bangsa.
***
Kekayaan bisa diperoleh cepat dan pesat melalui wirausaha/berdagang. Sebagaimana Hadits Nabi SAW, "Hendaklah kalian berdagang karena berdagang merupakan 9 dari 10 pintu rezeki." Abdurrahman bin Auf yang semula miskin kala baru hijrah ke Madinah, dalam tempo yang tak lama dia menjadi orang yang paling kaya karena berdagang. Kekayaannya yang melimpah-ruah banyak disedekahkan untuk kepentingan umat.
Kecerdasan dapat diraih dengan belajar. Menempuh studi dari tingkat dasar sampai ke jenjang perguruan tinggi. Kecerdasan akan mengangkat derajat seseorang. Seperti pernah dialami Jamil Azzaini, semasa kecilnya hidup miskin dan berkali-kali dihina temannya. Bahkan ada temannya yang sampai melempar sebilah bambu yang membuat kepala Jamil kecil berdarah. Awal-mulanya Jamil kesal dan memukul teman yang telah menghina kemiskinannya dan mentertawakan cita-citanya yang ingin menjad iInsyinyur Pertanian. Berkat tekadnya, dia belajar sungguh-sungguh, meraih prestasi terbaik, dan mendapatkan beasiswa kuliah di Institut Teknologi Bandung(ITB). Kini dia berprofesi sebagai dosen, seorang trainer, pebisnis dan penulis buku. Sebutan Inspirator SuksesMulia melekat pada Jamil Azzaini.  Dia merupakan salah satu figur masa kini yang sangat berkontribusi kepada bangsa Indonesia. Dia telah mendirikan pondok pesantren wirausaha yang gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin.
***
Kini, aku sedang berada di kampung halaman. Di desa Babakan, Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Sebagian kecil warganya sudah hidup sejahtera. Sebagian yang lain—termasuk keluargaku—berada di garis kemiskinan. Mata pencaharian utama adalah bertani. Mayoritas pemuda desaku bila sudah lulus SMP/SMA tujuan utamanya mencari kerja ke luar kota/luar negeri. Berwirausaha atau melanjutkan kuliah belum menjadi prioritas.
Seandainya, berwirausaha dan kuliah menjadi cita-cita favorit pemuda desa kami maka seiring bergulirnya waktu kekayaan dan kecerdasan akan memberikan dampak yang indah pada wajah desa. Tak ada lagi cerita jalan desa yang rusak, berlubang dan becek saat kena hujan. Kekayaan dan kecerdasan para warganya berperan dalam perbaikan jalan sebagai akses penting bagi mobilitas sosial dan ekonomi. Sawah yang jarang panen, lahan yang kurang subur bisa diselesaikan oleh alumni pemuda desa yang telah menjadi Insyinyur Pertanian. Susahnya mendapatkan air bersih dan permasalahan urgen lainnya dapat diatasi pemuda desa yang saling sinergi. Pemuda yang kaya mengucurkan dana guna mendatangkan alat/mesin yang modern. Pemuda yang cerdas bertindak mengoperasikan mesinnya dengan baik.
Berwirausaha adalah jalur strategis untuk menjadi insan yang kaya nan bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama bagi desanya—yang sering diabaikan pemerintah. Studi sampai ke jenjang perguruan tinggi mesti ditempuh untuk menjadi pemuda yang cerdas, memiliki keahlian yang bisa diterapkan bagi kemaslahatan masyarakat. Meski kondisi kini masih miskin dan bodoh, cita-cita menuju ke 'sana' harus diperjuangkan. Pemuda desa punya kewajiban membebaskan belenggu kemiskinan dan kebodohan yang melanda desanya.
Ketika kekayaan dan kecerdasan berkolaborasi tentu juga akan memperkokoh dimensi spiritual dalam jiwa kita. Artinya, kita telah menggunakan dan memaksimalkan akal dan potensi yang telah Alloh berikan. Kita menjadi umat yang maju dan unggul. Mampu menciptakan karya dan membangun peradaban yang mulia. Dengan kekayaan dan kecerdasan kita bisa menjalankan hablumminalloh dan hablumminannas secara baik dan mudah. Kekayaan yang dimiliki bisa disalurkan untuk infak, sedekah dan membantu sesama. Karena ilmu yang menghunjam, kecerdasan yang melekat dalam diri manusia, urusan ibadah kepada Alloh jadi lebih tertata, termanajeman. Misal, pengelolaan sawah/pertanian didesa memakai andil kecerdasan, dipergunakannya alat-alat modern, metode yang terbaik, tentu warga desa yang muslim akan menepis alasan melewatkan sholat Zuhur dan Asar karena sibuk sekaligus susah bekerja di sawah.
***
Sadar pendidikan itu sangat penting, aku memutuskan melanjutkan kuliah. Kendati orang tua tak sanggup membiayai, aku tetap optimis bisa menyelesaikan kuliah dengan membiayai sendiri. Jiwa berwirausaha dalam diriku sudah ada sejak SMP. Saat SMA sudah menamatkan buku genre motivasi/entrepreneurship berjudul 7 Keajaiban Rezeki, karya Ippho Santosa. Buku itu membuatku semakin yakin untuk terjun di dunia wirausaha, alias tidak ingin bekerja sebagai karyawan yang serba diatur atasan dan dibatasi jadwal yang teratur (baca: monoton).
Awal masuk kuliah di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta aku langsung berwirausaha. Apa? Jualan nasi rames. Selang beberapa pekan beralih jualan jajanan. Sempat juga jualan kaos kaki. Semua hasilnya belum memuaskan. Tak cukup untuk makan sehari-hari. Apalagi nanti untuk membayar SPP dan kos.

Ketika ujian tengah semester berlangsung aku berhenti jualan nasi rames, jajanan, dan kaos kaki. Aku ingin menyediakan waktu yang lebih banyak untuk belajar agar dapat nilai UTS yang bagus. Aktivitas usahaku beralih ke jualan buku via online—yang agak mudah, tidak repot. Semula postingan promoku di media sosial minim respon. Namun lama-kelamaan mendapat respon yang menggembirakan. Aku pun antusias menjalani bisnis jualan buku karena keuntungannya lumayan, terutamanya bukua dalah passion-ku. Menurutku, jualan buku bukan sekadar menghidupi diri sendiri. Namun juga suatu pengabdian, kepedulian, dedikasi dan profesionalitas. Mengirimkan buku-buku bermutu ke sepenjuru nusantara menjadi bagian keseharianku.



Sampai di sini, aku bercita-cita menjadi wirausahawan dibidang perbukuan.  Memiliki toko buku, penerbitan sekaligus media massa. Mungkin ini cita-cita yang terlampau tinggi dan ‘tak tahu diri’ mengingat kondisiku kini yang masih serba kesusahan. Selain membiayai kuliah sendiri, aku juga mesti sedikit membantu finansial 6 adikku agar orang tuaku di kampung tidak terlalu kedhereng. Di samping menginginkan kesuksesan pribadi, aku juga berharap adik-adikku, pemuda-pemuda desaku banyak yang bisa menempuh studi di kampus yang berkualitas. Pada tahap berikutnya menjadi insan yang cerdas, pebisnis yang handal dan mau sekaligus mampu memakmurkan desanya.
Semoga, aku, adik-adikku dan pemuda-pemuda di desaku banyak yang menjadi wirausahawan dan ilmuwan yang sukses. Begitu juga, semua pemuda di seluruh Indonesia. Aamiin. (*)



Cilacap, 30 Juli 2014

Beasiswa ke Luar Negeri

Beasiswa Studi ke Luar Negeri
Oleh Amin Sahri

Aku punya adik enam. Adik pertama (Amanah) dan kedua (Hari) hanya disekolahkan sampai lulus SMP. Kendala biaya yang jadi sebabnya. Adikku yang ketiga (Anam) nasib studinya lebih baik. Anam sempat vakum studi satu tahun setelah lulus SMP. Menjalani masa libur panjang itu ia bekerja sebagai loper koran. Keberuntungan sedang memihaknya, saat masuk SMA ia mendapat beasiswa sampai dari Ketua Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Pusat, Taufan Eko. Adik keempatku Rofi, kelima Nia, keenam Faiq.
Tahun ajaran baru ini Anam telah diterima di SMA Negeri 1 Cilacap (SMA terfavorit di kota kami). Ia alumuni SMP Negeri 1 Kawunganten. Seingatku, dari semester 1 sampai 5 ia hanya mampu meraih rangking 2 di kelas. Sebagai kakak kandung, aku pun kerap memotivasi dan mengarahkannnya dalam belajar—dengan caraku yang “agak keras”.
Memasuki semester 6, aku membelikannya buku persiapan menghadapi Ujian Nasional yang terbaik. Aku pun mengarahkannya bagaimana cara belajar efektif, memberikan petunjuk untuk“menggunakan” dan “menggarap” soal-soal yang ada di buku tersebut. Aku juga berjanji pada adikku yang meraih rangking terbaik akan diberikan hadiah.
Saat pengumuman kelulusan, Anam berhasil menduduki peringkat 1 di kelasnya dan rangking 3 paralel dari 7 kelas yang ada. Sebelum mendaftar dan diterima di SMA Negeri 1 Cilacap ia mau kerja jadi loper (aih, aku jadi teringat lagunya Iwan Fals: Sore Hari di Tugu Pancoran). Aku membimbing dan mengarahkannya. Mungkin ia tak “setegar” Budi yang dideskripsikan Iwan Fals namun aku salut padanya. Pagi sampai siang ia meloper. Sempat beberapa bulan pada sore harinya ia kerja di toko perlengkapan olahraga. Pernah juga, seusai meloper ia jualan es degan. Itu atas inisatifnya sendiri.
Kini aku akan membimbingnya menjadi siswa yang paling berprestasi di sekolahnya. Baik diakademik maupun non-akademik. Aku yakin ia punya potensi itu. Agar potensinya “termanfaatkan”, tereksplor secara maksimal maka aku akan terus mengarahkannya dan memberikan saran-saran progresif. Aku bertindak sebagai “pelatihnya”.
***
Aku akan “mengawalnya” agar ia selalu berada di jalur kesuksesan studi, lulus SMA dengan prestasi yang membanggakan dan diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik dengan beasiswa. Lalu, sukses mendapat beasiswa studi ke luar negeri. Sejarah itu harus diciptakan. Harus ada warga desa kecil di ujung selatan kecamatan Kawunganten yang bisa dan sukses studi di luar negeri. Kita musti bertindak progresif. Semoga ini menjadi inspirasi agar ke luar negeri bukan hanya bisa ditempuh dengan mendaftar sebagai TKI. Semoga banyak pemuda desa kecil bernama Babakan yang bisa menempuh studi sampai ke luar negeri. Setelah pulang mereka akan membangun dan memakmurkan desanya. Seperti Bung Hatta dkk yang studinya sampai ke daratan Eropa, pulangnya mereka “memerdekakan” Indonesia. Membangun dan memajukan Indonesia.
Sampai di sini barangkali ada tetanggaku yang setuju dengan pemikiranku. Mungkin ada juga yang sempat tertawa atas mimpiku yang kelewat batas: wong neng ndesa umahmu be arep rubuh koh koe nggedebrus. Hahah. Apapun responnya, akan aku terima dengan “terima kasih”. Keadaan separah apapun tak kan menghentikan obsesi dan ambisiku. Perlahan-lahan aku konkritkan targetku.
***



Aku akan “mengawal” agar adikku selalu berada di jalur kesuksesan studi, lulus SMA dengan prestasi yang membanggakan dan diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik dengan beasiswa. Lalu, sukses mendapat beasiswa studi ke luar negeri. Aku mengajaknya agar ia bisa menjadi seorang yang visioner. Punya target, aksi nyata, bertindak progresif dan berfikir futuristik. Aku giring dia untuk membaca karya-karya berkualitas, semisal trilogi Negeri 5 Menara. Aku transferkan pengalaman dan hal-ihwal tentang masa-masa di SMA dan kuliahan. Aku arahkan ia agar “mengenal” teman-temanku yang berprestasi. Teman-temanku di sosial media yang punya banyak prestasi dan keahlian aku pantau sejak SMP, SMA dan masuk kuliah aku pahami pemikirannya, tindakannya dan kekreatifannya lalu aku transferkan ke  benak adikku. Aku yakin semua akan berujung sukses.
Tuhan, inilah bagian dari proposal hidup kami. Kami akan memperjuangkannya. Tolong di-ACC ya. Terima kasih. (*)



Jogja, 15 Juli 2014

A Tribute




A Tribute, buku Best Seller, kali ini diresensi oleh ngupas.com, silahkan dibaca…
Judul Buku               : A Tribute
Tema                          : Inspirasi / Pengembangan Diri
ISBN                           : 978-602-1337-51-6
Penulis                      : Jamil Azzaini (Co Writer: Sofie Beatrix)
Penerbit                    : Mizania
Tahun Terbit           : Maret 2015
Dimensi                     : 145mm x 190mm (Tebal: 1,5 cm)
Jenis Cover               : Soft Cover
Jumlah Halaman    : 280 Halaman
Harga Pasaran          : Rp. 65.000*

Buku ini menekankan metode meraih kesuksesan bersama. Beberapa poin utama yang dibahas dalam buku ini antara lain adalah merencanakan dan menciptakan ‘panggung kesuksesan’, menentukan siapa saja disekitar kita yang pantas dijadikan ‘bintang panggung’ tersebut,  Serta strategi dan skala prioritas untuk menuju ‘panggung kesuksesan’ yang dibuat. Selain itu dalam buku ini juga terdapat beberapa form sederhana untuk memetakan rencana secara praktis, serta terdapat pula selingan artikel-artikel ringan yang mengandung humor sebagai sarana refresh ketika membaca.
Pengemasan bahasa dalam buku ini terbilang cukup santai, walaupun sebenarnya materi yang disajikan cukup berat namun dapat cukup nyaman untuk dibaca dan dimengerti. Sedikit selingan humor yang disisipkan dalam buku ini menjadikan penyerapan materi lebih nyaman dan rileks, terutama pada cerita selingan yang ditandai dengan latar framewarna abu-abu. Susunan Bab demi bab yang terdapat dalam buku ini tidak terlalu menekankan sistematika teknis, akan tetapi disajikan lebih secara random, walaupun demikian kita akan tetap menemukan benang merah yang menghubungkan pesan antara satu bahasan dengan bahasan lainnya. Gaya bahasa khas Jamil Azzaini tertuang dengan baik didalam buku ini, seakan – akan kita mendengar ia berbicara secara langsung. Buku ini bisa dibilang mirip dengan buku On, karena  memang penulis utama dan penulis pembantunya adalah orang yang sama. Bahkan bisa dikatakan buku ini sebagai sekuel dari buku On itu sendiri. Hal ini dikarenakan ada juga beberapa pembahasan yang ada didalam buku On, dijelaskan pula dibuku ini walaupun secara singkat.
Dari segi tampilan, buku ini pun menggunakan setting yang mirip dengan Buku On. Dibalut dengan nuansa cover berwarna gelap dan dimensi yang hampir berbentuk persegi. Cukup nyaman untuk dibaca, hanya saja kualitas cover yang cukup tipis dan mudah lepek dibagian tepinya menjadikan nilai minus bagi buku ini. Oleh karena itu, jika anda membelinya maka baiknya segera bibalut dengan sampul pelastik untuk mencegah kerusakan. Untuk tataletak, buku ini bisa dibilang cukup baik. Jenis font yang digunakan cukup nyaman untuk dibaca. Pemetaan halaman, komposisi ilustrasi dan foto bisa dibilang cukup pas untuk jeda mata. Pewarnaan yang grayscale pun dirasa cukup tepat, dikarenakan buku seperti ini tidak terlalu membutuhkan warna-warna yang megah untuk memperkuat pesan yang disampaikan, juga disesuaikan dengan harga yang dibandrol-nya.
Buku A Tribute merupakan buku yang cukup direkomendasikan untuk dibaca, trutama bagi anda yang memiliki jiwa pemberdaya yang ingin merangkul orang lain dalam mencapai kesuksesan bersama. Terlepas dari sedikit kekurangannya, buku ini cukup baik dalam menyampaikan pesan hasil pemikiran sang penulis. Harga yang cukup terjangkau pun merupakan salah satu kelebihannya. Walaupun harus sedikit mengorbankan kualitas hasil cetak. (*)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXgO0nMksAD1gS_S_HRN-aYFe_1od3j8FrDgU-IjxvN1qFxc2j3wukKHJUcX927ZXv_5rzIgv35M_Ivw2UUnpSpH7geOgQcGyY5N0tmmcbkcBGVFkEv-QX1_3HPFNot82NnuGGp70s7Jk/s1600/a+tribute.jpg

Sebotol Hujan untuk Sapardi

Sebotol Hujan untuk Sapardi
Cerpen karya Joko Pinurbo
Saya jatuh cinta pada puisi gara-gara pada suatu malam, sebelum tidur, membaca seuntai kata dalam sebuah sajak Sapardi Djoko Damono: "masih terdengar sampai di sini dukaMu abadi". Waktu itu saya masih duduk di kelas 2 SMA dan belum punya cita-cita.
Kata-kata itu terus menggema dalam kepala saya dan membuat saya semakin suka bersendiri bersama puisi. Sempat terbetik keinginan untuk ikut-ikutan menjadi penyair, tapi menurut sahabat dekat saya, kepala saya kurang abnormal untuk mendukung keinginan saya. "Lebih baik jadi teman penyair saja," ujarnya dan saya mengiyakannya.
Saya gemar mengoleksi buku puisi. Bila ada buku puisi yang hilang, saya akan mencarinya lagi di toko buku sampai ketemu. Pernah seorang teman meminjam buku puisi yang baru saya beli dan belum sempat saya buka. Diam-diam buku puisi itu ia berikan kepada pacarnya sebagai hadiah ulang tahun. Kepada banyak orang, teman saya itu sering mengungkapkan rasa bangganya karena berkat hadiah buku puisi darinyalah pacarnya tumbuh menjadi seorang pengusaha kata yang sukses dan kaya.
Saya sendiri, sekian tahun setelah malam yang diguncang puisi itu, sudah menjadi seorang karyawan yang mapan di sebuah perusahaan di Jakarta dan saya tetap belum mengerti apa sebenarnya cita-cita saya. Kecintaan saya terhadap puisi masih terpelihara dengan baik. Di tengah kesibukan saya yang tiada habisnya, saya masih bisa mencuri waktu untuk menghadiri berbagai acara pembacaan puisi, minta tanda tangan dan berfoto bersama penyair-penyair kesayangan saya. Kadang saya membantu penyair-penyair dari daerah mencari tempat untuk sekadar numpang tidur dan mandi.
Ada satu impian lama yang ingin segera saya wujudkan: berfoto bersama Sapardi dan minta tanda tangannya. Sebenarnya saya pernah punya kesempatan bagus untuk berkenalan dengannya. Dalam sebuah acara pesta puisi Sapardi lewat persis di depan saya. Ia mengenakan kaos oblong putih bertuliskan "Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma". Keren sekali. Sayang, dalam sekejap ia sudah diserbu oleh para penggemarnya dan saya tidak kebagian waktu. Selain itu, saya masih ragu untuk mendekat dan berhadapan dengannya. Saya takut ditanya, "Anda siapa ya?" Dan saya bukan siapa-siapa.
Malam itu, sepulang dari lembur di kantor, saya sempatkan berbicara dengan diri saya sendiri. Dalam naungan hangat kopi, saya membaca tulisan Seno Gumira Ajidarma: "Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa."
Asu! Kepala saya langsung menggigil. Saya memerlukan miras (minuman waras) atau obat penenang untuk menghadapi bayangan kengerian menjadi tua di Jakarta. Saat itu juga saya mengontak teman saya, Subagus, yang kenal baik dengan Sapardi. Saya minta tolong Subagus untuk mencarikan kesempatan bertemu dengan Sapardi dan Subagus menyanggupi.
Pada hari yang telah disepakati oleh Subagus dan Sapardi, hujan mengantar saya ke rumah penyair kurus itu. Saya lihat Sapardi sedang duduk khidmat di beranda mendengarkan suara hujan. Ia khusyuk sekali memperhatikan hujan menerpa daun bugenvil dan daun bugenvil bergerak-gerak memukul-mukul jendela. Ia tidak menyadari kedatangan saya dan saya tidak ingin mengusik kesendirian dan kesunyiannya. Saya membayangkan ia sedang tersihir oleh hubungan gaib antara tanah dan hujan. Tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun, saya balik badan dan pulang.
Dalam perjalanan pulang saya menemukan sebuah amplop berisi sepotong senja tergeletak di dekat tiang listrik. Pastilah itu sepotong senja yang dikirim Seno untuk seseorang yang sangat merindukannya. Burung yang diminta untuk mengantarkannya ke tujuan agaknya kemalaman, kemudian menjatuhkannya begitu saja di tengah kemacetan jalan. Saya ambil amplop itu, saya selipkan di saku baju. Sesampai saya di rumah, saku baju saya belepotan oleh cairan berwarna kuning kemerah-merahan. Senja yang luntur. Senja orang-orang Jakarta. "Itu bukan senjaku," kata Seno yang saat itu ternyata sedang tidak berada di dunia nyata.
Saya ceritakan kepada Subagus perihal kedatangan saya ke rumah Sapardi seraya minta tolong lagi dicarikan kesempatan kedua untuk berjumpa dengannya dan Subagus menyanggupi. Tidak lupa saya berpesan, "Cari tahu jam yang paling tepat untuk bertemu beliau ya, Su." Memperhatikan gaya bicara Subagus yang terkesan kurang serius, diam-diam saya mencium ada sesuatu yang tidak beres. Namun saya tidak mau berprasangka.
Gelap baru saja datang ketika saya tiba di tempat kediaman Sapardi. Rumahnya kelihatan sepi dan gelap. Saya ketuk-ketuk pintunya dengan sopan. Setelah diketuk-ketuk tiga kali, pintu terbuka. Dari balik pintu muncullah Tuan Sapardi. Tanpa ba-bi-bu ia melepaskan kata-kata: "Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar." Pintu segera ditutup. Saya terperangah dan terpana, lalu balik badan dan pulang.
Dua kali gagal tidak membuat saya menyerah dan kehilangan akal. Tanpa sepengetahuan Subagus, saya mempersiapkan kesempatan ketiga. Untuk usaha ketiga ini, saya akan datang menjumpai Sapardi tanpa janji dan pemberitahuan terlebih dulu. Saya akan memilih sebuah hari yang istimewa. Saya akan menjumpainya dengan cara yang jitu, yang akan membuatnya tidak bisa menghindari saya.
Saya siapkan semua buku kumpulan puisi Sapardi yang saya punya untuk saya mintakan tanda tangan penyairnya. Saya siapkan pula sebuah bingkisan sederhana sebagai tanda terima kasih saya karena sajak-sajaknya telah berhasil menjebloskan saya ke dunia kata-kata yang mengacak-acak ruang dan waktu. Saya merasa sudah siap mental untuk menemuinya lagi. Saya tidak tahu apakah dia juga siap mental.
Dan saat itu pun tiba. Saya datang ke rumahnya malam hari. Saya ketuk-ketuk pintu rumahnya dengan lembut. Setelah saya ketuk-ketuk tiga kali, pintu terbuka. Dari balik pintu muncullah Tuan Sapardi. Saya langsung menembaknya: "Tuan Tuhan, bukan? Tunggu di luar, saya sedang berdoa sebentar."
Ia tertawa tergelak-gelak dengan nada suara yang tak terlukiskan indahnya. Ia mempersilakan saya masuk, lalu membimbing saya menuju halaman belakang di mana terdapat sebuah kolam kecil yang jernih airnya. Kami duduk di tepi kolam. Kami bercermin pada kolam. Melalui air kolam saya dapat melihat dengan jelas sosok penyair hujan itu: di dalam tubuhnya yang tampak ringkih terdapat daya yang lebih.
Sapardi mengenakan sarung dan kaos oblong putih bertuliskan "Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi". Keren sekali. Rupanya dia habis nonton film "Filosofi Kopi". Dan ia menghidangkan kopi seraya berkata, "Seno dan Subagus juga barusan ngopi-ngopi sini." Kopi saya terima dengan takzim. Saya dan kopi tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih haus. Kopi dan saya tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih pahit.
Saya buka tas gendong saya, saya keluarkan sejumlah buku puisi Sapardi untuk ditandatangani oleh penyairnya. Setelah itu kami berfoto berdua. Sah. Sempurna.
Hari itu Sapardi genap berusia 75 tahun. Saya ambil sebuah bingkisan dari dalam tas. Saya ulurkan padanya sebuah botol besar berisi hujan bercampur senja. Ia mengucapkan terima kasih. Ia tempelkan botol itu di telinganya. Ia berbinar-binar mendengarkan suara hujan di dalam botol. Hujan yang hangat dan jingga oleh senja.
Ia bangkit berdiri. Dikocok-kocoknya botol hujan itu berulang kali. Tutup botol tiba-tiba terlepas dan menyemburlah air berwarna jingga. Menyembur tinggi ke udara. Saya masih mendongak takjub ketika semburan air berwarna jingga sudah lenyap tak berbekas. Sapardi menepuk punggung saya. "Lihat!" katanya sambil jari tangannya menunjuk ke arah kolam.

Saya lihat di atas kolam sudah ada sekuntum bunga berwarna jingga. Saya tidak tahu bunga apa namanya. Cahaya bulan memenuhi kolam, membuat bunga jingga itu tampak kian menyala. Kami terdiam beberapa lama. Hening malam membekukan bahasa. Dengan suara pelan dan dalam Sapardi berkata, "Yang fana adalah waktu. Kita abadi." (*)

Ikan Kaleng

Ikan Kaleng
Cerpen karya Eko Triono

/1/
Sam tiga hari di Jayapura; dia guru ikatan dinas dari Jawa. Dan tak mengira, saat pembukaan penerimaan siswa baru buat SD Batu Tua 1 yang terletak sejurus aspal hitam dengan taksi (sebenarnya minibus), ada yang menggelikan sekaligus, mungkin, menyadarkannya diam-diam. Ia tersenyum mengingat ini.
Ketika seorang lelaki bertubuh besar, dengan tubuh legam dan rambut bergelung seperti ujung-ujung pakis lembut teratur menenteng dua anak lelakinya, sambil bertanya, “Ko pu ilmu buat ajar torang (kami) pu anak pandai melaut? Torang trada pu waktu. Ini anak lagi semua nakal. Sa pusing”
Sam memahami penggal dua penggal. Dia, seperti yang diajarkan saat micro teaching, mulai mengulai senyum lalu berkata, “Bapak yang baik, kurikulum untuk pendidikan dasar itu keterampilan dasar, matematika, bahasa indonesia, olahraga dan beberapa kerajinan..”
“Ah, omong ko sama dengan dong (dia) di bukit atas! Ayo pulang!”
Kaget. Sam tersentak, belum lagi dia selesai. Dan ini tak pernah diajarkan di pengajaran mikro. Juga di buku diktum bab penerimaan siswa baru. Dia pucat; diraihnya segelas air putih.
Pendaftaran pertama memantik rasa sabar dan sesuatu yang asing dalam dirinya. Ia bersabar menunggu detik berikutnya dari lepas pukul sembilan. Ia mengelap lagi wajahnya. Di meja pendaftaran samping, kosong, Tati belum datang. Cuma ada Markus, Waenuri dan Tirto—teman sekelasnya yang sedang betugas masing-masing di ruang lain; mulai dari siap berkas, mencatat kebutuhan anggaran dan menyiapkan papan tulis. Bismillah, ia mengharap, tepat ketika sebarisan orang-orang legam bertelanjang kaki menjejaki halaman yang setengah becek bertanah merah, dilatari sisa-sisa alat berat dan bekas pengadukan material bangunan itu.
Dan syukurlah, meski dengan penjelasan yang tak kalah berat; setidaknya, tak ada yang seperti orang pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran , siapa sebenarnya orang itu. Ia mencoba mencari tahu, hasilnya, ternyata lelaki pertama tadi adalah kepala suku Lat, berada di sekitar pantai sebelah kanan, menembus seratusan rengkuh dayung untuk sampai di kampungnya yang ada di laut. Kira-kira begitu kata orang -orang yang juga ada berasal dari sana.
“Trada perlu risau, dong itu memang keras kepala,” kata di penjelas itu sambil bisik bisik takut ada yang melaporkan omongannya.
/2/
Hari tadi tercatat dua puluh satu siswa terdaftar jadi angkatan baru sekaligus kelas baru buat sekolah itu. Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu silih berganti dan bulan menumpang tindih. Tepat memasuki bulan Agustus, keganjilan itu muncul kembali. Meski sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semakin sering.
Dua anak itu sering muncul di halaman. Mereka nampak memandangi sesuatu yang mungkin aneh baginya. Teman-teman yang lain menghadapi sebuah tiang dengan bendera dua warna. Berbaris lalu menyanyi-nyanyi. Dari sini Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu betul mereka itu yang tempo hari dibawa oleh kepala suku Lat.
“Kenapa kalian, ingin seperti mereka?”
“He-eh…” yang satu mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang menyanyi-nyayi bersama itu dari sana terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang ada di dekat jalan depan sekolah itu.
“Apa ko ini Do! Trada boleh!! Bapa ade bisa marah”
Mereka kemudian menjauh, menurun di bukit-bukit kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan juga beberapa rumah penduduk dan sekali dua waktu minibus berlalu dengan muatan penuh.
Sam memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi rumah anak-anak itu dan memberikan semacam penjelasan.
Dengan dibantu salah seorang wali murid, sampailah dia di rumah lelaki itu. Sam kemudian menyampaikan maksud dan sejumlah penjelasan terutama perihal anak mereka yang sering datang ke sekolah.
“Ko trada perlu ajari torang. Torang dah pu sekolah sendiri. Lihat mari! Justru murid ko yang mari”
Sam, dengan setengah tak percaya mengikuti lelaki itu. Turun dari rumah besar, lalu menuju perahu di antara barisan rumah-rumah, aroma laut menebar, hidungnya disesaki asin dan matanya dipenuhi tatapan aneh dari penduduk sekitar. Dia menuju sebuah rumah yang sama di atas laut dan di sana nampak sudah dua anak lelaki yang menyambanginya siang tadi. Dan, beberapa muridnya yang ia kira sakit, ternyata mereka ada di sana.
Di tempat ini terlihat: barusan dayang-dayung tergantung, tombak bermata tajam, sebuah perahu di tengah ruangan, jala, pisau, sebuah titik-titik dengan cangkang karang yang kemudian Sam tau itu rasi bintang di langit. Lelaki Lat menjelaskan lagi dengan bahasa alihkode semi kacau, bahwa disinilah seklah yang ia dirikan. Sekolah yang diberinama Lat: Sesuai nama suku.
Sebenarnya lelaki tadi tidaklah bodoh terlalu. Ayahnya dulu pernah menyekolahkannya ke “sekolah pemerintah” meski hanya dikelas satu—demikian mereka menyebutnya, namun suatu hal mengganjal.
Ketika kakaknya yang sudah kelas enam di SD Jayapura 2 tak bisa apa-apa ketika harus nenemani kakak mereka yang lebih tua pergi melaut menggantikan ayahnya yang sakit keras. Dia, kakaknya yang SD tersebut, hanya bisa omong dan menyanyi-nyayi, lalu pamer angka-angka tak jelas dalam kertas, tapi tak becus membaca rasi bintang, arah angin, membelah ombak, mengarah tombak, apa lagi mencecap asin air dan jernih gelombang untuk menerka di mana ikan-ikan berkumpul. Dari situ ia benci sekolah—ia benci menghabiskan waktu dengan menyayi dan menggambar tidak jelas. Dan, pelak, ketika ada pembukaan sekolah baru ia selalu mencari sekolah yang mengajarkan anaknya melaut, membelah ombak, mendayung, membaca rasi bintang, menombak ikan paus dan seterusnya. Dan itu tak pernah ada, atau mungkin tak akan pernah ada!
Sam terdiam. Ia paku bagi kelana: semua diktum terkulum gelombang di kaki pancang: berpias-pias.
Dan juga sorenya, sam melihat bahwa cahaya senja senantiasa keemasan sebelum muram menjadi gelap, lelaki itu mengajar dua anaknya dan tiga dari muridnya yang belakangan absen. Dia mengajari cara memegang dayung, menggerakkannya kanan kiri di atas perahu di tengah kelas itu. Dan, tak sekalipun lelaki itu membentak atau bahkan memukul bila salah. Dia selalu berkata,
“Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang cintai dayungi dan ciumi angin asin ini. Laut tempat ko makan, laut tempat ko besar nanti, ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar hidup bukan cuma omong kosong menggambar. Ko dititipi laut bapa kitorang”



            /3/
Peristiwa dua tahun silam terngiang makin dalam, di meja kelas ketika kini dia mengadapi pesan pendek berisi keluh dari sejumlah kawan di Jogja yang belum juga mendapat kerja. Dia menarik nafas. Untung dia dapat ikatan dinas; meski jauh seperti ini, terpisah dari keluarga.
Dia sedang mengabsen, saat tiba-tiba lelaki kepala suku Lat itu datang mengetuk pintu kelas. Dia izin sebentar pada murid- muridnya yang kini tinggal setengah—sisanya “sekolah” di Lat: memilih belajar membelah ombak dengan benar, membaca rasi bintang dengan sket cangkang dan seterusnya.
“Maaf ada yang bisa sayang bantu Pak?” Sam bertanya, dalam hati ia mengira lelaki itu, yang kini membawa kedua anaknya beserta anak lain, ingin menyekolahkan di tahun ajaran baru yang sebentar lagi tiba.
“Ko orang Jawa, bisa ajar torang buat ini?” Sam mundur sedikit. Ia kaget. Lelaki itu menunjukan ikan kalengan bermerek sarden.
Usut punya usut, setelah bercakap kemudian, sekolah Lat mengalami masalah. Murid-muridnya bertambah banyak, orang-orang Batu Tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sana, yang dalam waktu tak lebih dari setahun dapat membantu menangkap ikan. Yang mengajar juga dari orang mereka sendiri yang berpengalaman. Nah dari sana penghasilan menangkap ikan naik deras. Ketika kepala suku Lat itu pergi ke Jayapura untuk memasarkan ikan, ia melihat ikan kaleng yang ternyata harga sebuahnya setara dengan harga satu kilogram ikan mentah. Dia terkejut. Padahal, menurut si kepala suku Lat itu satu kaleng hanya berisi dua tiga potong. Dari ini dia ingin menemui sekolah yang bisa mengajarkan “murid”-nya membuat ikan kaleng.



Dan sekali lagi Sam menggeleng. Ia menjelaskan kembali tentang standar pengajaran di sekolah, kurikulum, evaluasi, ijasah, menghitung, menghafal nama menteri, Pancasila, Undang-Undang Dasar…
                                                                     
“Ah baiklah. Ko tau tempat buat ini?” kepala suku menegas. Matanya resah. Anak-anak di belakangnya tengah membaur bersama anak-anak dalam kelas. Sam membaca pabrik produksinya yang ternyata itu ada di Banyuwangi Jawa Timur.
“Sa mau ke sana! Ko kasih tau..”
Sam terbengong. Dan ia akan makin kaget, jika tahu bahwa lima hari mendatang akan ada rombongan kecil dengan perahu berlayar sedang, berbekal peta yang ia berikan sewaktu bertanya beduyun megarungi Samudra Hindia menuju Jawa Timur buat belajar cara mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak ikan, agar anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti kota, mobil, motor… Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat; yang, membaca angin, gemintang dan asin air laut dan jejak-jejak ikan diantara buih dan gelombang. Jiah! Khiaaak! (*)


2010
Write here, about you and your blog.
 
Copyright 2009 Menulis dan Mengekalkan Kenangan All rights reserved.
Free Blogger Templates by DeluxeTemplates.net
Wordpress Theme by EZwpthemes
Blogger Templates